Jumat, 03 Juli 2009

SENJA DESEMBER

Aku sempat berfikir bahwa aku dan dia adalah sepasang jiwa yang melebur, lalu siap membeku menjadi satu. Aku sempat merasa, aku telah membagi bagian otaknya menjadi 3. dan tersematkan aku disiitu. Aku sempat menikmati sekian hari indah yang dipenuhi dengan pesan singkat bertuliskan kata-kata ramah, dan tertera sebuah nama singkat namun cantik. aku Juga sempat berfikir aku adalah hidupnya dan tuhan sengaja membuatku untuk membantunya menghela nafas setiap hari. Namun semakin larut langit diatas kepala ku saat itu. Semakin cepat pula langit menyapa dewa matahari disela pagi dan semunya pun berganti. Semakin terasa jelas kini aku berdansa sendiri. Tak ada alunan musik indah yang terdengar. Hanya detak jantung yang berdegup amat kencang merusak genderang telinga. Serasa besok adalah bulan syawal. Aku duduk mencari bantuan tuhan agar mampu mengecilkan degub jantung, serta membangunkan akal sehat ku untuk kembali normal. Batas dari nalar ku yang sempat terhasut melebihi jatah, terpompa emosi dan memang sudah menguasai hati. Aku coba menyeduh cokelat hangat, berharap dopamine mampu membantuku agar bisa lebih bersahabat dengan emosi. Ku bakar rokok mentol berwarna hijau muda cantik. Mungkin saat itu hanya itu yang bisa aku puji. Yang lainnya gelap dimataku saat itu. Harum badannya masih menyumpal di hidungku dan terhisap masuk kedalam kerongkongan serta hati dalam arti asmara. Dan itu sangat mengganggu. Dia seakan menginfeksi setiap pikiran, nafas, dan kata yang baru saja selesai ku produksi. Aku masih dalam kondisi nanar. Darahku masih tersumbat namanya yang mengganjal di seluruh tubuh. Aku ingin membakar bokongnya lalu menendangnya agar dia melihat ku saat itu dan membiarkan fikirannya dilintasi oleh segala amarah yang kecewa dari ku. Entah apa yang membuatnya tega membuat asa ku terasa sia sia. Jika boleh aku berkata padanya. ”Aku rela menjadi penjawab bisu dari setiap telphone malamnya. Aku tega membiarkan diri ku mandi diguyur air hujan. Hanya untuk mengambilkan dirinya air putih dari dispenser rumah nya di lantai satu, menuju kamar nya dilantai 18. Aku berani memecut tubuhku agar tetap terbangun saat dirinya membutuhkan seseorang, untuk membuat dia tenang kala malam mengganggu nya dengan urusan ayah, kaka juga si hitam yang meraung mengganggu. Dan aku pun ikhlas membukakan sajadah untuk nya saat tahajut membangunkan nya. Juga jaket parasut ku siap sedia mengawal nya melawan dinginnya malam kelabu”. Tanggalan ku pun semakin mendekati akhir tahun . Saat itu sudah cukup lama aku hidup tanpa ada pesan singkat penyambut pagi, serta lagu-lagu kampungan yang terdengar merdu saat dia yang bersenandung. Aku sudah lebih bisa berkompromi dengan emosi dan fikiran. Aku sudah lebih bisa menilainya sebagai sesuatu yang cacat dalam hidup ku. Ku bakar bensin kala senja mendadak jingga, terguyur hujan sejak zuhur. Aku matikan penyejuk udara mobil. Ku buka sedikit jendela dan kunyalakan batang rokok terakhir ku. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa salah jalan. Aku tersesat dalam pikiran ku. Dan dia kembali. Aku merasa dia sedang melukis langit. Berusaha melirik dan menarik ku lagi menuju bola matanya yang selalu terlihat meruncing tajam. Ku ambil bahu jalan. Ku biarkan asap mengepul, melilit ku. Asal bukan segala tentang dia lagi. Aku tak kuat. Aku heran mengapa justru batang rokok ini yang mengantarkan ku padanya kembali. Ku lanjutkan perjalanan, dengan kondisi pikiran yang masih tetap salah. otak ku perlahan meredup, aku mendadak gagu. Dan aku sangat menikmatinya saat itu. Barisan besi yang tersusun mengantri ini tak pernah singgah atau mengganggu otak ku yang kembali melankolis. Aku merasa justru mereka menjadi suara latar yang membawa diri ini membangun asa kembali tentang dia. Memang sejak lama aku sadar aku adalah orang yang sangat bodoh dalam hal ini. Aku sudah sangat hafal ketololan ku jika harus bergulat dengan segala hal tentang dia. Namun aku rela menjadi idiot jika dia yang akan mengajari ku bagaimana menghafal alfabet setiap hari. Dia terbangun lagi di kepala. Dia perlahan menguat kembali di sela-sela dada. Hingga dia kembali berkuasa seiring bergetarnya handphone ku dan namanya yang langsung merayu. Terasa kembali gelora rasa rindu. Aku rindu mencicipi bibir merahnya yang merona menggoda nafsu, aku rindu menggenggam tangannya yang terasa halus namun hangat. Aku rindu getir suaranya saat ia menangis sedu. Dan aku rindu tarikan bibirnya saat ia membuang senyum pada ku. Aku tahu aku sedang salah jalan. Aku tahu akan terus tersesat jika ku ikuti jalan ini. Aku Coba mulai menarik garis pembatas ketololan ku. Aku hanya berusaha realistis, yang dalam hal ini berbeda kutub dengan optimis. Aku harus mulai sadar dimana keberadaan ku saat ini. Dia yang saat ini tak lagi menjadi objek setubuh ku. Dia yang tak lagi menjadi pemancing endorvin ku. Dan dia yang tak lagi menjadi tujuan nafas ku, dan dia juga bukan lagi menjadi bidadari yang pantas terangkai dalam asa ku. Dan dia pula yang sudah bersama individu lain yang tak pernah bisa aku mengerti alasan dari semua hal yang terjadi, dengan apa yang telah ia pilih. Saat itu waktu sangat larut, mata ku masih sangat kuat. Entah karena AC Milan yang bertanding malam ini, atau kondisi kepala serta hati yang masih tidak karuan. Sengaja kuaktifkan ruang perbincangan ku di internet, tanpa ada tujuan. Dan dia kembali hadir. Dia pun menelfon ku, suaranya tipis. Nyaris nangis. Seperti biasa aku tak bisa mendengar wanita menangis. ”kenapa kamu?” ku awali kalimat basa-basi ku saat ia menegur ku lebih dulu. Ternyata ia pun mulai sadar atas langkah yang kuambil dari nya. Aku pun semakin heran untuk apa ia menangisi sesuatu yang tak pernah ada arti untuknya. Toh yang tergila-gila dengannya adalah aku. Apa ia merasa kehilangan penggemar beratnya yang siap dihukum mati jika memang ia yang memerintah nya? Bingung ku pun seketika menyambar. ”aku ga mau jauh dari kamu” kalimat itu datang tipis antara vase hidup dan mati. Suaranya bergetar saat mengucapkannya. Jika ada sebotol valium aku lebih memilih meminumnya saat itu. Asal kan aku bisa keluar dari jebakan itu. Bibir ini mendadak kelu. Aku semakin tidak mengerti akan kondisi ini. Akan bagaimana jalan fikirannya dan juga apa yang digunakannya dalam berfikir selain otak. Aku sudah kadung kecewa dengannya. Namun aku pun telah kadung cinta hingga nyaris menjelma menjadi seorang yang obsessif terhadapnya. Jika ada pilihan untuk kabur. Aku akan kabur. Dia yang mendadak menjadi peri hitam abu dimataku. Dia yang berubah menjadi sejuntai celah cacat diimpresiku. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah tahu siapa aku. Dia tidak akan pernah mau tahu apa isi kepala ku, dan dia juga tidak akan pernah sadar kalau aku ada, dan selalu melangkah setelahnya. Hanya sekedar menikmati cintanya dari hitamnya bayangan dan menjaga setiap arahnya hingga tidak akan pernah patah. Dia tidak akan pernah bisa mengenal ku, begitu pun aku yang tidak akan pernah bisa mengenalnya. Aku lebih memilih sakit rindu, dari pada dia datang pada ku hanya untuk menangis. Dan aku lebih memilih begitu. (I’d miss you even if we’d never met)._kata sambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar