Minggu, 13 September 2009

tentang senja di sore itu

Tiba-tiba ia menelfon ku tadi. Sudah lama hal ini tidak terjadi. Bahkan aku kira hp ku sudah tidak mengenal dirinya lagi. dia mengajaku bertemu sore nanti. Apakah ini sebuah bentuk rekayasa romantisnya? Merangkai siluet indah dibalik dewa surya yang perlahan tak perkasa. Aku segera membuka lemari pakaian ku. Kemeja biru dongker lengan panjang aku pilih. Aku selalu merasa lebih rapih jika dibalut dengan kemeja katun ini. Aku menerka-nerka arah dari undangannya. Aku coba membuka setiap sekat fikiran mencari berapa banyak peluang yang bisa tercipta. Aku ingat dirinya yang sangat numerikal. Dia orang yang objektif, dan tidak suka opini. Semuanya harus jelas dan tertutur tegas. Aku ingat saat menemaninya kesebuah bazar makanan tempo itu. Dia lebih memilih kentang goreng perancis ketimbang singkong goreng keju. Alasannya simple, ia lebih tahu kandungan lemak didalam kentang goreng perancis yang serba angka. Ia tidak mau berurusan dengan tebak-tebakan atau bergelut dengan segala hal yang masih abu-abu. Jika hitam yah memang harus hitam. Tidak ada warna linglung baginya. Mungkin itu yang selalu membuat dirinya terlihat feminis. Suaranya pernah terdengar sangat manja saat memohon kepada ku untuk tidak memilih film trhiller. ia memaksa ku dengan kekuatan suaranya yang manja. Dan itu ajaib. Ini memang bertolak belakang dengan sisi feminisnya. Dia lah bentuk paradoks. Ia amat takut dengan mata pisau dan darah. Dan aku hanya mampu mengingat dengan segala hal yang pernah terjadi diantara aku dan dia. Aku pernah sangat-sangat dekat dengannya. Sebelum ia berubah dan perlahan mengambil langkah seribu dari ku. Hingga akhirnya tadi ia kembali membangunkan hp ku dan juga fikiran ini tentangnya. Aku merapihkan diri dan memastikan nya sudah wangi. Aku coba membangun kan kereta besiku dan siap membakarnya untuk melaju. Ku siapkan segala macam salam pembuka hingga tema-tema yang ia cinta. Terutama tentang bunga lili yang ia gambar kan suci dan penuh arti. Aku masuki sebuah kios kopi kecil dekat kantor pos ditengah kota. Dirinya duduk di ujung toko, ia terlihat anggun bergaun coklat bertekstur bunga. Cantik, amat cantik terkilau mentari sore ke arah timur. Aku hampiri dia. Ku jabat tangannya dengan tangan ku yang mendingin. Akhirnya aku bertemu Senja, wanita ini bernama senja. Ia tergambar indah dimuka istana Raja nan megah. Riasan wajahnya seakan pelangi kala hujan lelah berganti cerah. Senyum sapanya menarik uluran impresiku yang sempat membeku kelu. Aku rindu dengan malam nya yang juga jadi malam ku. Aku rindu kepulan aroma rokok buahnya yang mengikat dinginnya malam dengan pekat. Aku masih inginkan dirinya yang menemani ku saat esok bertemu senja. Aku buka perjamuan sore ini bersama senja dengan sambutan getir sebelum akhirnya besok ia pergi dari kota ini. Dan ini ternyata memang sebuah pamitan. Ini perpisahan. Aku baru tahu dan sekarang aku tidak tahu.

cerita tahun lalu

Mengapa ini jadi sangat penting bagi kamu. Bukan kah kita pernah bicarakan ini setahun lalu. Dan jawabannya jelas. Kamu tetap berdiri disana dan aku tetap berdiri di sini. pada saat itu kamu masih saja menjadikan hal-hal yang tidak penting menjadi sumber pemisah. Sedangkan aku sebenarnya lebih bisa terbuka dengan hal tersebut. Aku mencintai waktu ku saat menelan cheese burger dihadapan mu. Aku pun sangat menikmati lemon tea hambar sisa minuman pesanan mu. Sejujurnya aku sangat menyayangi setiap waktu ku yang ada kamunya. Kamu telah berhasil menjadi kan otak ini berisi. Dan kamu juga sudah sukses menjadikan diri ini terisi penuh muatan pesona yang selama ini tersuguh. Langkah ku selalu yakin jika dirangkai dengan langkah mu. Namun pada saat itu, kamu mungkin masih menganggapnya belum cukup. Sekarang kamu bertanya lagi tentang itu. Kamu menginginkan lagi sesi tukar otak tentang teori-teori hidup yang selalu kamu anggap dewa. Kamu rindu terhadap kepulan asap marlboro mentol saat bersama menelan malam. Lalu untuk apa ini semua datang lagi. Kamu sudah jelas-jelas menghentikan dan memastikan telah mengubur nya dalam masa lalu mu yang kamu anggap sampah. Dan hal lain berarti aku adalah sebuah nista mu dalam hidup yang teramat hina. Kamu menangis dihadapan ku. Dan aku pun sudah jauh lebih dulu menangis dari setiap posisi mu. Jika kamu sakit. Aku jauh dari itu. Jika dulu kamu menganggap kita tidak bisa bersama. Begitu pun aku sekarang.