Selasa, 21 Agustus 2012

“aku kira kita perlu melihat kita, agar semuanya jelas. Tak lagi persoalkan dirimu yang angkuh dan aku yang egois. Kamu tak perlu mengalah, aku pun sama. tapi kita berdualah yang harus sama-sama kalah untuk saling mengalah”.
Aku tak punya banyak waktu. Malam itu aku di sampingmu, mencegah waktu pergi dan berkompromi untuk tetap menunggu. Senyummu jadi menu utama, dan kalimat sapa yang memang tidak seberapa, aku jadikan bahan dasarnya. Aku terus diburu waktu, untuk terus memimpi mu. Tau kah kamu ada batas pada jeda? Batas yang akhirnya membuat kita membuang waktu untuk bisa saling tahu dan percaya. Getir membuat mu lebih banyak diam, biarkan dia pergi! Dia tak dibutuhkan di sini. Biar ku ajarkan kau cara menikmati bilur, karena diammu membuat ku kehilangan banyak waktu. Waktu memang tidak mengikat, tapi kenyataannya kita terikat. Ku ajak kau terjun dalam diskusi, kau terlihat nyaman. Ku coba beri rancu ditengahnya, biar karam yang jalankan tugasnya. Ku harap kau menikmati kesia-siaan ini. Biarkan dia terus berlari, sementara waktu terus mengubah kita. Kau mulai cair, tawamu mulai keluar satu-satu. Mengapa tidak sejak tadi kau cair? Ingin rasanya ku salahkan dingin yang terlalu liar sejak tadi. Membekukan hangat dalam sungkan. Batas yang kurasa saat ini hanya kita berdua. Selebihnya jembatan pena. Tepatlah kau di sampingku, kan ku buka pintu tuk pulang. Pulang pada palung kasih dalam relung. Kau akan pergi, seiring aku yang akan terus berjalan ke arahmu. Hingga nanti kata tak perlu jelaskan artinya sendiri, maka aku disitu menjemputmu. Tolong yakinkan aku bahwa kamu bukan lah mimpi, tapi nyata yang entah datangnya kapan!

Senin, 20 Agustus 2012

Aku masih saja diam, tak banyak bicara saat purnama meminangmu untuk segera tertidur. Mulai lah kau lunturkan letihmu pada semayam lelah tidur malammu. Aku tak berani beranjak, meskipun aku yang harusnya sundutkan lentera hening kita. malam itu Rianti mengajakmu ke taman lebah, sajian musik tersuguh hangat saduri air jahe di gelas yang kau genggam. Aku tak kurang dari 4 meter di belakangmu, mencatat gerak dan rekam nafasmu. Tak satupun alpa dari pandanganku. Kau cantik bungaku, kau jadi harum bagi taman harapan ku yang jatuh padamu. Tempo hari aku pernah duduk disebelahmu. Ingatkah kau apa yang kita bicarakan? Semua tentang Rita kawan lamamu yang kini pergi ke resahnya belantara. Kemarin kita makin dekat, kita hanya butuh hari ini untuk semakin dekat, dan esok hari untuk kita saling dekat dan melebur. Ku harap itu terjadi, dan kuningmu kan menguning bersamaku, kemuning!

Kamis, 16 Agustus 2012

berharap kau merdu

Selamat lah kau disana kasihku. Ku lihat kau dari tempatku. Di pelupukmu tak tampak. Tak apa lah. Bukan itu tujuanku. Di angkasa ku melihatmu. Dari puncak pelangi ku lihat kau tersenyum. Bersamanya asal kau bahagia. Aku jaga setiap butirmu.. Tak akan sia-sia yang tersisa.

Senin, 18 Juni 2012

Ada rindu dan takut yang tumbuh bersamaan namun tak seimbang. Ada asa yang rasa-rasanya ingin ku kubur dalam-dalam. Lamunku yang terbangun tanpa substansi. Getirku yang menyurat pada siratan surat yang teruarai oleh berbagai isyarat. Takutku datang menantang harapan yang sangat akan segera menegang. kau tumbuh bersama doa yang ku ucap pada raja, kau hadir megah dari tiap rasa yang kucicipi tiap hari. Aku tak karuan, setidaknya itu yang bisa ku jelaskan. Aku tersenyum disambung senyum, dimaniskannya waktuku. Di garis itu, disejajarkannya latar kita. Terima kasih.

Sabtu, 17 Maret 2012

hallo harapan..

Sudahkah kamu melihat matahari di pagimu? Kuharap hari mu terang. tak lagi kau ingat gelapnya waktu semalam. Hujan yang ku undang, harum yang tercium datang. Hirup hingga ke hulu, nafasmu kan bertemu fajar pagi itu. Ini masih berawan, sepuh saja agar berganti. Hidup memang tak semanis senyummu, maka tersenyumlah! seduh dengan getirmu. Larutkan keduanya pada perasaan yang akan segera kau telan. Jangan takut pada pahit, percaya lah kau akan tahu penangkalnya. Oh ya boleh kah aku meminta secangkir tawamu? Agaknya akan baik untuk hariku. Coba kau dengar lagi! Dengarkan syair angin yang membawa gulana pada memori auralmu. Lupakan bersama mendung yang pudar. Kau yakin matahari akan datang? Jika kau yakin maka yakin akan membawanya. Tetaplah kau tegak di sampingku. Tetap hidup di tengah waktu yang dipacu Tuhan hingga kita bertemu. Lari lah kau sejauh itu, rinai hujan akan terus membawamu pada derai yang mengalun di harapku. Aku lebih suka melihat tangis mu merdeka. Untuk apa kau menyerah pada malu? Toh malu tidak pernah menuntut mu untuk malu. Ingat saja pesan ibumu! Kini halaman kita kembali sama, halaman yang sesungguhnya selalu sama. halaman dimana kau jadi bunga dan aku rumput hijau perantara. Aku ada di sekitarmu, terbaring menunggu harummu datang berhamburan. Aku akan menyapa mu pada saatnya. Aku akan hadir di hidupmu berikutnya. Semenit, dua menit tak masalah. Asalkan aku ada di sana. Terima kasih waktumu.

Sabtu, 18 Februari 2012

pulang

“aku ingin pulang, pokoknya aku tetap inging pulang?”

itu terus kata mu! bagaimana kamu bisa pulang, jika konsep pulang saja tidak kamu miliki. kamu selesaikan dulu tangismu, baru kamu teruskan lagi hiraumu

Minggu, 29 Januari 2012

Pesan Dari Timur

Biarlah ku seka aspal mu yang liat ini Jakarta, aku ada tugas penting. Aku seolah dapat wahyu dari Tuhan untuk hal ini. Gerungan mesin mu menceramahi ku untuk terus melaju, ah aku suka! Terima kasih suguhan asap kelam mu. Di Radio Dalam 01, aku berhenti sejenak. Meneguk es jeruk, di pestanya matahari kemarau. Kau ibu yang sabar Jakarta, kau hebat. Kau biarkan rahimmu, diperkosa berbagai kepentingan. Untuk itu aku butuh bantuanmu. Tolong bantu aku bagaimana caranya bisa sampai disana tepat waktu. Sebelum waktu magrib tiba, dan bulan muncul. Aku tidak begitu suka bulan, dia sombong. Ah pokoknya aku tidak suka. Aku yakin kau tahu apa tujuanku. Ku bawa pesan dari timur untuknya. Aku ingin bertutur cerita di lembar hidupnya kemudian. Dia memang terlihat takut, gemetar, dan keringatnya mengucur deras dari peluh.” Tak usah lah kau takut, aku tidak sedang membicarakan Idi Amin. Kau ambil saja handukmu, kau basuh getirmu!”. Dari timur ku bawa matahari menuju tempatmu, sehingga kau bisa terus berfotosintesis dengan rencanamu, tak perlu khawatirkan aku. Aku dengar kau berkali-kali menyebut nama Tuhan? Sebutlah sebanyak kau mampu. Lara mu akan tau, untuk apa kau menderu. Aku rindu, aku pun merasa mesra dengan mu, dan keduanya tumbuh tanpa bapak juga ibu. Kisahku tumbuh mandiri, diantara neuron metropolitan yang mengintimidasi. Aku ingat sore itu, saat matahari berubah warna. Senyummu mengelus sore itu, memperkosanya dan aku tak berdaya. Ini toh hanya kilas angin tak mengarah. Mimpi tidak pernah butuh realistis sebagai bahan dasarnya. Untuk itu diciptakannya mimpi, ditenunnya mimpi, sampai sepenggal kisah disana ku bertemu dengan mu, biarkan terus bermimpi, biar ku tinggal didalamnya, jika memang dirimu tak mau pergi pada hidup lain di luar mimpi. Entah bagaimana caranya aku selalu yakin, Tuhan punya banyak jalan. Dan dia tidak pernah lupa membuat jalan menuju sore. Sore yang akan kuhabiskan disamping mu. Diteras rumah, sebelah pot ibumu. Duduk dengan hati tenang, lara lapang, dan hatimu yang telanjang. Aku ingin tawa mu meledak, hingga alam tak kuasa menampung dan berceceran berserakan. Lantas lara dan getir mu menjadi mubazir. Dan Saat itu aku sampaikan pesan yang ku bawa dari timur untuk mu, “terima kasih atas duniamu”.ku tunggu jawabanmu..