Selasa, 21 Agustus 2012

“aku kira kita perlu melihat kita, agar semuanya jelas. Tak lagi persoalkan dirimu yang angkuh dan aku yang egois. Kamu tak perlu mengalah, aku pun sama. tapi kita berdualah yang harus sama-sama kalah untuk saling mengalah”.
Aku tak punya banyak waktu. Malam itu aku di sampingmu, mencegah waktu pergi dan berkompromi untuk tetap menunggu. Senyummu jadi menu utama, dan kalimat sapa yang memang tidak seberapa, aku jadikan bahan dasarnya. Aku terus diburu waktu, untuk terus memimpi mu. Tau kah kamu ada batas pada jeda? Batas yang akhirnya membuat kita membuang waktu untuk bisa saling tahu dan percaya. Getir membuat mu lebih banyak diam, biarkan dia pergi! Dia tak dibutuhkan di sini. Biar ku ajarkan kau cara menikmati bilur, karena diammu membuat ku kehilangan banyak waktu. Waktu memang tidak mengikat, tapi kenyataannya kita terikat. Ku ajak kau terjun dalam diskusi, kau terlihat nyaman. Ku coba beri rancu ditengahnya, biar karam yang jalankan tugasnya. Ku harap kau menikmati kesia-siaan ini. Biarkan dia terus berlari, sementara waktu terus mengubah kita. Kau mulai cair, tawamu mulai keluar satu-satu. Mengapa tidak sejak tadi kau cair? Ingin rasanya ku salahkan dingin yang terlalu liar sejak tadi. Membekukan hangat dalam sungkan. Batas yang kurasa saat ini hanya kita berdua. Selebihnya jembatan pena. Tepatlah kau di sampingku, kan ku buka pintu tuk pulang. Pulang pada palung kasih dalam relung. Kau akan pergi, seiring aku yang akan terus berjalan ke arahmu. Hingga nanti kata tak perlu jelaskan artinya sendiri, maka aku disitu menjemputmu. Tolong yakinkan aku bahwa kamu bukan lah mimpi, tapi nyata yang entah datangnya kapan!

Senin, 20 Agustus 2012

Aku masih saja diam, tak banyak bicara saat purnama meminangmu untuk segera tertidur. Mulai lah kau lunturkan letihmu pada semayam lelah tidur malammu. Aku tak berani beranjak, meskipun aku yang harusnya sundutkan lentera hening kita. malam itu Rianti mengajakmu ke taman lebah, sajian musik tersuguh hangat saduri air jahe di gelas yang kau genggam. Aku tak kurang dari 4 meter di belakangmu, mencatat gerak dan rekam nafasmu. Tak satupun alpa dari pandanganku. Kau cantik bungaku, kau jadi harum bagi taman harapan ku yang jatuh padamu. Tempo hari aku pernah duduk disebelahmu. Ingatkah kau apa yang kita bicarakan? Semua tentang Rita kawan lamamu yang kini pergi ke resahnya belantara. Kemarin kita makin dekat, kita hanya butuh hari ini untuk semakin dekat, dan esok hari untuk kita saling dekat dan melebur. Ku harap itu terjadi, dan kuningmu kan menguning bersamaku, kemuning!

Kamis, 16 Agustus 2012

berharap kau merdu

Selamat lah kau disana kasihku. Ku lihat kau dari tempatku. Di pelupukmu tak tampak. Tak apa lah. Bukan itu tujuanku. Di angkasa ku melihatmu. Dari puncak pelangi ku lihat kau tersenyum. Bersamanya asal kau bahagia. Aku jaga setiap butirmu.. Tak akan sia-sia yang tersisa.

Senin, 18 Juni 2012

Ada rindu dan takut yang tumbuh bersamaan namun tak seimbang. Ada asa yang rasa-rasanya ingin ku kubur dalam-dalam. Lamunku yang terbangun tanpa substansi. Getirku yang menyurat pada siratan surat yang teruarai oleh berbagai isyarat. Takutku datang menantang harapan yang sangat akan segera menegang. kau tumbuh bersama doa yang ku ucap pada raja, kau hadir megah dari tiap rasa yang kucicipi tiap hari. Aku tak karuan, setidaknya itu yang bisa ku jelaskan. Aku tersenyum disambung senyum, dimaniskannya waktuku. Di garis itu, disejajarkannya latar kita. Terima kasih.

Sabtu, 17 Maret 2012

hallo harapan..

Sudahkah kamu melihat matahari di pagimu? Kuharap hari mu terang. tak lagi kau ingat gelapnya waktu semalam. Hujan yang ku undang, harum yang tercium datang. Hirup hingga ke hulu, nafasmu kan bertemu fajar pagi itu. Ini masih berawan, sepuh saja agar berganti. Hidup memang tak semanis senyummu, maka tersenyumlah! seduh dengan getirmu. Larutkan keduanya pada perasaan yang akan segera kau telan. Jangan takut pada pahit, percaya lah kau akan tahu penangkalnya. Oh ya boleh kah aku meminta secangkir tawamu? Agaknya akan baik untuk hariku. Coba kau dengar lagi! Dengarkan syair angin yang membawa gulana pada memori auralmu. Lupakan bersama mendung yang pudar. Kau yakin matahari akan datang? Jika kau yakin maka yakin akan membawanya. Tetaplah kau tegak di sampingku. Tetap hidup di tengah waktu yang dipacu Tuhan hingga kita bertemu. Lari lah kau sejauh itu, rinai hujan akan terus membawamu pada derai yang mengalun di harapku. Aku lebih suka melihat tangis mu merdeka. Untuk apa kau menyerah pada malu? Toh malu tidak pernah menuntut mu untuk malu. Ingat saja pesan ibumu! Kini halaman kita kembali sama, halaman yang sesungguhnya selalu sama. halaman dimana kau jadi bunga dan aku rumput hijau perantara. Aku ada di sekitarmu, terbaring menunggu harummu datang berhamburan. Aku akan menyapa mu pada saatnya. Aku akan hadir di hidupmu berikutnya. Semenit, dua menit tak masalah. Asalkan aku ada di sana. Terima kasih waktumu.

Sabtu, 18 Februari 2012

pulang

“aku ingin pulang, pokoknya aku tetap inging pulang?”

itu terus kata mu! bagaimana kamu bisa pulang, jika konsep pulang saja tidak kamu miliki. kamu selesaikan dulu tangismu, baru kamu teruskan lagi hiraumu

Minggu, 29 Januari 2012

Pesan Dari Timur

Biarlah ku seka aspal mu yang liat ini Jakarta, aku ada tugas penting. Aku seolah dapat wahyu dari Tuhan untuk hal ini. Gerungan mesin mu menceramahi ku untuk terus melaju, ah aku suka! Terima kasih suguhan asap kelam mu. Di Radio Dalam 01, aku berhenti sejenak. Meneguk es jeruk, di pestanya matahari kemarau. Kau ibu yang sabar Jakarta, kau hebat. Kau biarkan rahimmu, diperkosa berbagai kepentingan. Untuk itu aku butuh bantuanmu. Tolong bantu aku bagaimana caranya bisa sampai disana tepat waktu. Sebelum waktu magrib tiba, dan bulan muncul. Aku tidak begitu suka bulan, dia sombong. Ah pokoknya aku tidak suka. Aku yakin kau tahu apa tujuanku. Ku bawa pesan dari timur untuknya. Aku ingin bertutur cerita di lembar hidupnya kemudian. Dia memang terlihat takut, gemetar, dan keringatnya mengucur deras dari peluh.” Tak usah lah kau takut, aku tidak sedang membicarakan Idi Amin. Kau ambil saja handukmu, kau basuh getirmu!”. Dari timur ku bawa matahari menuju tempatmu, sehingga kau bisa terus berfotosintesis dengan rencanamu, tak perlu khawatirkan aku. Aku dengar kau berkali-kali menyebut nama Tuhan? Sebutlah sebanyak kau mampu. Lara mu akan tau, untuk apa kau menderu. Aku rindu, aku pun merasa mesra dengan mu, dan keduanya tumbuh tanpa bapak juga ibu. Kisahku tumbuh mandiri, diantara neuron metropolitan yang mengintimidasi. Aku ingat sore itu, saat matahari berubah warna. Senyummu mengelus sore itu, memperkosanya dan aku tak berdaya. Ini toh hanya kilas angin tak mengarah. Mimpi tidak pernah butuh realistis sebagai bahan dasarnya. Untuk itu diciptakannya mimpi, ditenunnya mimpi, sampai sepenggal kisah disana ku bertemu dengan mu, biarkan terus bermimpi, biar ku tinggal didalamnya, jika memang dirimu tak mau pergi pada hidup lain di luar mimpi. Entah bagaimana caranya aku selalu yakin, Tuhan punya banyak jalan. Dan dia tidak pernah lupa membuat jalan menuju sore. Sore yang akan kuhabiskan disamping mu. Diteras rumah, sebelah pot ibumu. Duduk dengan hati tenang, lara lapang, dan hatimu yang telanjang. Aku ingin tawa mu meledak, hingga alam tak kuasa menampung dan berceceran berserakan. Lantas lara dan getir mu menjadi mubazir. Dan Saat itu aku sampaikan pesan yang ku bawa dari timur untuk mu, “terima kasih atas duniamu”.ku tunggu jawabanmu..

Senin, 12 Desember 2011

ABUABU shortfilm




this one was created by me and my friends. hope you enjoy the film from us.

Sebuah film yang menceritakan tentang dua orang remaja, Raka dan Kara yang terjebak dalam sebuah situasi mempertanyakan hubungan mereka yang dianggap salah. Namun apakah yang mereka anggap salah itu benar - benar salah? Apakah hanya mereka yang bersalah? semua masih ABUABU

Selasa, 22 November 2011

Bagai ombak kita berlari, bagai buih kita terurai mimpi

Saat itu masih gelap, namun tak lama lagi matahari datang singgahi bumi. Harusnya aku berbagi tempat dengan lelap sejak tadi. Namun sepertinya aku terlalu egois, Ini hari besar, setidaknya untuk ku. Hari pengharapan bagi orang tuaku. Aku calon sarjana. Aku akan menjadi salah satu tumpuan bangsa ini mengayuhkan masa depan ibu pertiwi. ini ujung dari salah satu hutangku pada orang tua. Hingga akhirnya aku mampu menamatkannya. Lega rasanya, meski memang tidak lah seberapa. Aku justru takut menghadapi tahap setelah ini. Saat aku dan yang lain mulai mencoba berlari. Mencari arahnya masing-masing. Menggilas jalanan, menitinya tiap inci. Matahari memanggang kita yang sedang berlari. Hanya harapan yang membuat kita berani menatap dan mencoba mendekati. Asap kota menggulung setiap bulir keringat yang terproduksi. Semua tentang kita yang sudah mulai egois dan kita yang realistis, seberapa jauh jarak kita tempuh? seberapa banyak bensin kita bakar dalam perjalanan? Semua terlebur dalam emosi kita yang jujur. Aku ingat saat kita tertawa, aku ingat saat kita terjatuh. Dan terus lah ingat itu, karena untuk itu kita saat ini berlari. Bagai ombak kita berlari, bagai buih kita terurai mimpi. Akan kah kita merasa gerah? Aku harap tidak akan pernah.

Minggu, 11 September 2011

Bukan Soal Waktu

Kabar itu datang tadi pagi, bersamaan dengan surat kabar yang tersaji dengan kopi. Aku sudah tahu kabar ini tadi malam dari Rayan. Cerita Rayan semalam pun mengingatkan ku pada kejadian tahun lalu. Saat aku kalang kabut menyiapkan kejutan ulang tahun untuk Charita. Entah apa yang membuat ku saat itu merasa sangat harus memberikan sesuatu untuknya. Aku merasa ini keharusan, karena memang Charita adalah sesuatu untuk ku dan dia pantas untuk itu. Dia wanita yang senantiasa memberikan segenap perhatiannya pada ku selagi ia mampu. Ku ajak dia pergi malam itu, tepat sehari sebelum umurnya bertambah. Disaat yang sama ku undang seluruh temannya untuk datang kerumahnya. Ketika kami pulang tepat pukul 12 malam, rumahnya sudah penuh dengan teman – temannya yang memberikan ucapan selamat. Ia pun menangis, memukul bahu ku, dan lekas memeluk ku amat erat, sambil terisak ia berkata ia benci aku sepenuh jiwanya, namun ia pun mencintaiku melebihi apa yang mampu ia miliki di dunia. Charita adalah wanita yang merelakan setiap jam pulsa handphonenya berkurang, untuk mengingatkan ku makan ketika sedang sibuk bekerja. Aku memang memiliki masalah percernaan yang cukup kronis. Berulang kali aku harus keluar masuk rumah sakit hanya karena pola makan ku yang tidak karuan. Disaat itu pula Charita ada disampingku, merawatku, dan merelakan dirinya aku marahi berkali – kali, aku yakin dia tahu aku tak bermaksud begitu. Satu hari ia sangat bersemangat mengantarkan ku ke pusat perbelanjaan di daerah senayan. “kamu harus tampil bagus, setidaknya untuk diri kamu sendiri” kalimat itu datang darinya saat memilihkan baju untuk ku menjelang hari kemerdekaan RI, aku diundang ke istana sebagai jurnalis untuk acara yang aku lupa namanya. Profesinya sebagai wartawan mode menuntutnya harus memiliki selera yang baik dalam berpakaian, maka itu aku sangat beruntung memiliki dia terutama disaat moment seperti ini. Seletelah selesai memilih pakaian, kami memutuskan untuk mengisi perut kami yang sejak tadi sudah tidak tenang. Seolah trikora kembali bergelora di siang itu. Kami selalu punya bahan perbincangan, tidak pernah ada batasan. Semua kita sajikan nikmat dalam waktu 7 tahun belakangan. Memang bukan waktu yang singkat kita bersama, banyak cerita bergulir seirama. Tepat satu hari setelah acara undangan di istana, aku ingin sekali mengajak Charita bertemu. Aku punya sesuatu yang akan membuat dirinya tersenyum lebar, aku ingin melihat dia senang. Aku jemput dia waktu itu dikantornya. Malam sudah agak larut. Profesi kami yang sama – sama harus bekerja dibawah tekanan waktu, memaklumkan kami untuk sering bertemu ketika malam sudah jauh berlari. Sering aku merasa, aku adalah salah satu laki – laki paling beruntung di dunia karena memiliki Charita. Dia bisa membuat ku melihat diriku sendiri, dia bisa membuat ku bercermin tentang siapa aku. Dia mampu menerjemahkan istimewa dengan sederhana. Sifatku yang cuek dan pendiam, diterimanya apa adanya. Awal kami berpacaran adalah masa yang sulit untuk ku dapat akrab dengan teman – teman dan lingkuangannya. Sifat kami yang berbeda pun ternyata ikut serta mempengaruhi pola pergaulan kami. Aku sempat kikuk saat pertama kali bertemu dengan teman – temannya. Aku yang pendiam dan selalu merasa kurang nyaman ketika harus bertemu dengan orang baru, hanya bisa diam ditengah bisingnya suara tawa mereka. Terlihat Charita mencoba mengambil peranku, dia berusha bercerita banyak tentangku, dan berusaha untuk memancing teman – temannya bertanya pada ku. Saat itu pula Ia berhasil mengeluarkanku dari penjara semi tersebut. Pernah suatu sore aku duduk di halaman belakang rumah orang tua ku. Bermain dengan Roro, sin tzu kesayang ibu ku. Ibu ku datang menghampiri, sambil membawa sepiring roti goreng buatannya. Ini moment yang sangat jarang aku dapatkan belakangan, terutama sejak aku pindah ke kantor yang baru. Hal yang pertama ibu ku tanyakan adalah Charita. Aku sempat cemburu, sebagai anak harusnya aku lah yang lebih pantas mendapatkan perhatian ibuku. Namun saat itu aku ikhlaskan, karena memang hubungan mereka sangat dekat. Charita lebih sering berkomunikasi dengan ibuku. Menanyakan kabar, meminta resep masakan, hingga mengeluhkan sikap dan sifat ku. Terutama setelah malam itu, satu hari setelah acara di istana. Malam itu aku memberikan ia kalung dan sebuah vinyl artis favoritnya, Feist. Ia sangat senang, dan emosi hingga menangis. “baru kali ini aku bener – bener terkejut, Atar! kalo memang ini maksudnya kejutan” ujarnya malam itu kepada ku. Aku memang paling tidak bisa memberikan kejutan, selalu ia sudah lebih dulu tahu dan kemudian pura – pura belum tahu. Sejak saat itu, sikapnya kepada ku dan keluarga kian hangat. Mungkin ia mulai merasa aman dengan posisinya. Hingga tadi malam, aku rasa dia benar – benar sudah merasa aman, dan mungkin juga nyaman, meski bukan dengan aku. Aku yakin Rayan bisa menjaganya, aku yakin Rayan mampu menjadikan Charita bagian dari cita – citanya. Aku yakin Rayan sudah siap dan yakin akan apa yang dihadapinya. Itu yang aku tidak bisa. Tujuh tahun memang tidak sebentar, tapi ketika aku bersanding diatas altar untuk berjanji dan meminta restu Tuhan bukan lah urusan seberapa lama aku menjalin hubungan dengan pasanganku. Bukan juga seberapa dekat aku dengan pasangan ku, dan bukan juga seberapa sempurna pasangan ku. Aku kenal Raniela 4 bulan lalu, dan 2 bulan lalu aku telah melamarnya. Dia bukan tipe wanita seperti Charita, yang dengan mudah memperlihatkan perhatiannya kepada ku dan keluarga. Dia sedikit cuek, mirip dengan ku. Tapi ia baik, dan sayang dengan orang tuaku. Dia mampu meyakinkan aku bahwa dialah tujuanku, itu yang Charita tidak mampu. Ini bukan perkara waktu, tapi bagaimana aku siap, yakin, dengan apa yang aku tuju. Aku senang Charita.

Jumat, 17 Juni 2011

Raka Kara

Raka : Kamu percaya tuhan itu adil?

Kara : Karena aku percaya tuhan, aku harus percaya segala sifat ketuhanan. Emang kenapa?

Raka : Kalo tuhan memang adil, kenapa harus ada dua sisi yang berlawanan, kenapa harus ada pembeda dari kesamaan?

Kara : Kalo tuhan membuat kita linear tidak akan pernah ada sejarah manusia dalam kehidupan.
Raka : Maksudnya?

Kara : Iya jika memang kita linear mungkin ktia bukan lah manusia, kita hanya organ ciptaan tuhan dengan karyanya yang robotik. Tidak ada penggila seks dan penggemar proses reproduksi, karena tuhan menciptakan hambanya dengan sistem produksi masa pabrik.

Kara : Aku mulai tau arah bicara mu. Hmm tidak ada pria dan wanita. Yah memang itu yang mudah. Tapi mengapa harus selalu harus dilihat dari sudut yang berbeda untuk mengatakan tuhan itu adil? Mengapa kita tidak bisa menemukannya eksplisit?

Kara : Mungkin itu yang sering orang sebut dengan tuhan selalu punya rencana. Rencananya apa kita tidak pernah tahu. Dan untuk tahu kita harus mencarinya, mencari berarti bergerak, berubah dan bergeser, begitupun sudut pandang kita. Coba liat deh apa negara komunis yang mengusung sama rata sama rasa itu semua penduduknya miskin semua ? atau kaya semua? Tetap tidak kan? Karena memang keadilan absolut sesuai dengan harafiah itu tidak pernah ada, semua tergantung dari sudut pandang.

Raka : Kalau begitu aku bisa polygami dong? Toh syaratnya Cuma satu asal bisa adil? Keadilan tuhan saja hanya bisa dilihat dari sudut pandang yang tepat. Begitu juga mungkin aku.

Kara : Arah mu selalu ke situ.

siapkah kita mengalah?

Apa yang harus kita tunggu? Apa kita harus menunggu hujan ini berhenti, dan perlahan membasahi kita hingga kita merasa malu sama malu? Harus kah kita menunggu hingga matahari pun lelah memanaskan bumi? Tolong beri tahu aku! Beri tahu aku sampai kapan harus menunggu. Menunggu hingga kita bisa terbuka. Saling melepaskan apa yang ada dan melihat tubuh kita masing-masing dengan telanjang. Tak ada yang ditutupi, hingga tak sehelai benang pun menghalangi. Kemunafikan kita seolah kostum permanen yang tak bisa dilepaskan. Kapan kita bisa saling mengalah? Kapan kita bisa saling sadar kalau kita perlu untuk kalah? Berbohong tidak akan pernah membuat kita menang. Aku perlu tahu apa yang ada di dalam kepala mu, begitu pun kamu. Sudah siapkah kita mengalah?

Minggu, 13 Maret 2011

buat ku jadi salah

Semua berjalan dengan baik. Kita berdua sudah sama-sama dingin. Ini semua sesuai rencana. Jalan kita sudah benar, meskipun tidak sepenuhnya benar. Setidaknya arahnya ketempat dimana aku menujunya. Kita berada dalam kadar kekentalan yang pas. Kamu dengan lancar bercerita, aku dengan senang mendengar. Semua berjalan sangat gentle. Namun itu sepertinya dulu. Sebelum aku sendiri lah yang justru salah jalan. Salah menerka, dan salah mengolah signal. Aku butuh beribu pertahanan untuk menjaga agar semuanya tetap pada jalurnya, dan kamu cukup punya satu hal untuk menghancurkannya. Kamu mulai ikut campur dalam kontaminasi. Kamu mulai jadi antagonis dalam kedinginan ini. Sepak terjangmu menjadi liar, tak bisa ku pertahankan. Hati – pikiran – hati – pikiran. Suka –suka mu dan itu menyiksa ku. Yang jadi masalah lain adalah, jawabanmu yang sudah tidak lagi aku tahu. Kamu bukan main mampu menjadi sesuatu. Kamu berhasil berada disampingku, tepat seminggu lalu. Sepadan, seirama, sejalan, seimbang dan apalah kata-kata lain yang bisa menjelaskannya. Kamu jadi seperti kolestrol yang membuatku nafsu. Ah sangat strategis memang. Aku memakanmu lalu kamu menggerogoti aku dari dalam. Dan akhirnya segala kembali rusak. Arahnya tak karuan. Entah lah aku harap ini sementara. Emosi yang hanya emosi. Semoga benar-benar emosi.

Kamis, 24 Februari 2011

Berdansa Dengan Mu

Sudah lebih kurang 12 menit aku menjadi saksi. Bagaimana tanah yang tak berdosa, diguyur air hujan yang bertubi-tubi menghajarnya hingga tak mampu mengelak. Debu sirna dan sudah terlanjur basah. Langkah mu datang memecah genangan tenang yang hasilkan riak. Ku tarik nafas dalam. Ku hirup aroma mu. Aroma mu sudah cukup menjelaskanmu seutuhnya. Debarmu datang bangunkan sadar. Reflek ku tawarkan handuk kering entah milik siapa. Handuk itu terlihat berusaha keras menghangatkan mu. Wajah mu kini perlahan ditutup asap, kau bilang ini rokok mu yang ke 8 hari ini. Kemudian ku sambung dengan asap yang keluar dari mulutku.

Mataku menajam, berusaha menatap jelas wajahmu yang dicemari nikotin. Kamu terlalu manis untuk ada di depan ku saat ini. Terlalu sedap dalam hujan yang turun ribut. Kunikmati dirimu syahdu, seiring lisan yang tak henti keluar bedansa. Kau buat waktu ku menari, disela-sela iri membakar hati. Kita masih saja terjebak dalam obrolan yang sama. Tentang cita-cita yang tak tau akhir cerita. Berbaris mengisi lara, bertatapan menjuntai asa. Kita membicarakan kita yang sama-sama tidak tau arah.



Kadang aku berfikir kita ini dua orang yang sok tau. Keduanya sok tau Tuhan, sok tau takdir, sok tau hidup, dan sok tau yang lainnya. Kita yang masih berpendapat kita ya benar! Tapi kamu selalu berkata ”itu bahan bakar kita”. Kecupan mu yang turun mesra kerap membekas pada membran waktuku yang tak lagi perawan. Halamanmu yang tak pernah terbuka sama, Halaman mu yang bergelora, halaman mu yang getir, dan halaman mu yang satir. Dimana lalu arahnya? Dimana kita bisa berpegangan? Melihat titik yang sama, dan kemudian menggandengnya pada asmara. Takdir yang kini terasa memiliki rahim yang berbeda.

Setiap ambisimu ku terjemahkan dalam melodi, yang siap antarkan kita pada ritmik. Keluhmu ku produksi menjadi nada dasar lagu yang ku persiapkan. Anggap lah kita sedang berdansa. Menuju punggung aula dengan asa sama-sama ingin berdansa. Kita saling genggam, kita saling gerak, kita pun saling seirama, meski arahnya yang beda. Mengikuti lagu dengan gerak yang tidak pernah mau mengenal ragu. Saat itu inginnya aku tak berhenti berdansa. Ku biarkan kamu cengkram pinggangku, ku biarkan melodi, dan ritme menjadi latar dosa ku. Dan aku akan berdansa denganmu selamanya. Menetap dan hidup didalamnya. Tinggal dalam cita-cita. Tenggelam dalam dansa.