Sabtu, 12 Desember 2009

konsumtifitas instan


Saat ini aku bagian dari rezim komunis instant. Batang tanam esok buah tanpa akar. Isi kepala hancur oleh obralan paha pelacur. Aku di rezim terdepan dengan semangat juang terbelakang. Kumpulan intisari cosmos modernisasi salah kaprah. Aku bersyukur pernah hidup di fase media idealist. Aku bersyukur pernah jadi bagian kalender kuno pembukus sarapan sampah pagi. Digitalisasi yang terlampir pada lembar depan kepala, hanya sebagai akuisisi tak resmi. Media yang berkembang dalam medio popular. Ini jauh dari populis, otak kalian terinjeksi bualan tinggi demokratis. Aku memang popular dalam arti populis, namun aku popular yang idealis. Aku bagian kreativitas yang terbangun kritis. Aku bukan komoditas pasar yang terangkai oleh kumpulan konsumtifitas masyarakat yang bebas tak punya batas. Karya matang berakar siap disantap pasar. Bukan pasar memanas otak dipaksa kerja tanpa nalar. Aku kumpulan warna-warni yang terulang dalam polah sikap mu yang labil. Kalian budak dan aku sedikit di atas kalian. Sedikit yang berarti mengungguli setiap celah atom yang terisi sindiran nasionalisme yang kini feodal. Otak kalian menggambarkan feodalisme. Kalian masih sangat kolonial ditengah tuntutan mandiri. Kalian di belakang dan membiarkan bagian depan lengang. Dan kalian selamanya tenang dalam gelisah tidur mu yang dihantui setan. Swasta yang kini membungkus setiap sendi sell. Produktifitas yang dikebiri waralaba asing yang iri. Aku mempertanyakan idealisme mu? Aku mempertanyakan fungsi konsumtif asing mu? konsumtifitas mu tak mendasar alias instan.

Jumat, 11 Desember 2009

eksploitasi ekspresi

segala bentuk eksploitasi terkesan terlalu sadis dan memaksakan keadaan membentuk sesuatu yang tidak sewajarnya. namun jika ini terjadi terhadap teman, eksploitasi saya rasa sah-sah saja. hal itu saya dan teman-teman saya dari pengguna otak kanan lakukan. wanita berparas cantik serta manis, bertubuh jenjang berdiri tegak dihadapan kami. dia rekan kami Janita nizria. kami paksa mengeksplotasinya serta memanfaatkan kelebihannya untuk kepuasan kami(karena dia telah baik, kami rela memuji-mujinya).




















terima kasih Janita, Nenek, dan Adi....

Sabtu, 21 November 2009

penghalang ku yang mungkin sempurna

”Kesempurnaan mu menjadi penghalang buat ku” ucap ku padanya. ”Kesempurnaan mu seolah memberi jarak bagi ku ke kamu. aku menjadi kecil di hadapan mu yang tergambar besar. Aku lebih baik disini dan membiarkan kamu disitu”. ”Kenapa jadi begitu? Menurut ku kamu terlalu egois untuk dapat menilai ku sempurna” Ujarnya ketus. ”Tapi bagi ku kamu sempurna, dan itu yang membuat aku tetap saja berdiri disini tidak bergerak mendekat. Kamu terlalu jauh, dan aku tak punya daya khusus”, jawab ku memotong. ”Kalo menurut kamu aku sempurna, dan kamu jauh dari sempurna. Mungkin itu lah penyebabnya kamu menjadikan diriku sempurna. Kita jadi kosong sama isi. Jadi bisa saling mengisi dan sifatnya sejati. Jika aku sempurna dan kamu sempurna. Keadaannya menjadi isi sama isi, terlalu majemuk. Tidak ada yang tidak sempurna, dan menurutku itu tidak valid untuk sebuah kesempurnaan. Toh harus ada yang buruk agar terlihat baik kan? Yang kita bicarakan ini kan aku dan kamu. Jadi tidak perlu argumen plural macam, tidak harus ada hitam untuk berkata putih. Jadi dasar mu tadi di awal tidak bisa aku terima. Jika kamu masih saja sama, aku menilai kamu memang lemah. Tidak ada usaha. Dan itu menjadi kan ku bertambah super sempurna dan kamu cacat” dan ia menutup argumennya lalu pergi. Aku pun lantas bingun siapa yang sebenarnya egois? Apakah dirinya yang semakin harus terlihat sempurna atau aku yang telah menilai ia sempurna? Aku masih coba mencerna arah dari argumen terakhirnya.

Sabtu, 14 November 2009

ketidak biasaan yang terbiasa

ini tanpa kesengajaan. malam ku yang ku kira sudah tak lama lagi berganti harum pagi, harus terbangun dan kembali tegang. apa kebiasaan harus menjadi kesalahan saat terbiasa? aku tidak tenang. aku tidak enak..kembali tidak enak. takut semuanya tak sesuai biasanya. memang kesalahan, dan memang selama ini kita salah, namun kebiasaan lah yang membuatnya biasa. aku sekarang disekap. tersekap prasangka, opini-opini tak mendasar, dan pilihan permintaan maaf yang tepat. aku ingin sekarang lari, lalu tiba-tiba ada didepan mu, menyuguhkan wadah untuk menampung dosa mu, dan yang paling penting kamu mulai percakapan kita nanti dengan tak serius. dalam arti bercanda, bergurau seperti biasanya.

Jumat, 06 November 2009

perbincangan kedai kopi


“Kopi mu terlihat mewah? Warna nya cantik, seolah disepuh mocca. Buihnya pun tinggi bak sasakan wanita jetzet perlente!!!!” Tanya ku pada seorang teman. “iya, katanya ini kopi nomer satu di sini. Kopi dasarnya saja ramuan dari 7 jenis bijih kopi unggulan. Cream kentalnya dihangatkan khusus dengan suhu 34 derajat celcius agar tetap segar, hangat dan tidak pecah. Sepertinya aroma rempah pun ikut membuat kopi ini bertambah kaya, kopi ini disuguhkan istimewa menurutku”. Jawabnya deskriptif. ”Kopi mu terlihat sederhana. Hanya hitam, layaknya kopi yang tak ingin menentang kodrat”. Kata-kata itu keluar pesimis darinya. Aku pun jawab ”Iya kopi ku terkesan kesepian, hanya air, serta ampas yang mebuat dirinya merasa bernyawa. Tapi aku lebih suka ini. Seperti kata mu tadi, kopi ku ini sederhana. Aku lebih suka yang sederhana”. ”Mengapa?” Tanya nya penasaran. ”Tidak ada alasan rumit atau filosofi khusus kok!” Jawab ku. ”Hanya saja aku lebih bisa menikmati dan mengenal kopi ini seutuhnya tanpa banyak perantara, jadi langsung ke sasaran. Kopi yang ku minum jauh lebih jujur, ia menunujukan bagaimana dirinya yang sesungguhnya dan semestinya”.

Senin, 02 November 2009

dia bilang dia takut


Dia tiba-tiba memeluku kencang. Dia bilang dia takut. Entah apa yang membuat dirinya takut. Ternyata dia takut meneruskan langkahnya yang masih panjang. Dia bilang di depan gelap. Dia bilang lintasannya samar, pembatasnya tak tentu, dia takut jatuh dan mungkin takut hilang. Dia mencengkram bagian belakang kaus ku sangat kencang. Seakan takut aku pergi lalu hilang. Wajahnya bening pucat. Dia masih sangat takut. Aku biar kan dia tenang. Aku buat kan dia susu coklat hangat. Dan dia pun mau meminumnya. Aku coba mengelus belakang kepalanya. Berharap dia setidaknya bisa tenang dan merasa hangat. Ku balut badannya dengan sweather abu ku. Ini baru ku ambil dari loundre. jadi masih wangi. setidaknya ini bisa nyaman baginya. Aku duduk tepat didepannya. Aku mencoba meraih jarak terdekat, untuk memastikan dia tidak apa-apa saat ini. Aku bilas butir keringat yang tercecer di keningnya. Aku ingin dia tenang, aku ingin dia bisa merasa aman. Aku ingin dia sadar benar aku di sini. ”aku takut bertemu pagi” ujarnya perlahan seolah mengeja. Suaranya datang getir di telinga. ”Apa yang membuat mu takut??” Sahut ku cepat. ”Aku takut aku merasa hangat”. Ujar nya. ”Bukan kah hangat itu bagus???”jawab ku penasaran. ”Aku belum siap, aku belum lihat apa-apa, aku belum kenal siapa-siapa. Aku takut salah merasa hangat”. Ucapnya yang terdengar kombinasi panik, takut, serta gugup dan sangat cepat. ”Kamu tidak akan tahu apa yang terjadi besok, kecuali kamu mati sekarang”. Jawab ku sedikit ketus. ”Yang tidak terlihat belum tentu tidak ada kan?” Katanya menegaskan. ”Iya aku tahu!!! Justru itu, apa kamu sudah melihat esok pagi?” Nada suara ku meninggi. ”Apa kamu sudah tahu apa yang terjadi esok hari kala hitam berganti putih??? Kalau iya aku rasa aku salah berbincang dengan siapa malam ini. mungkin aku sedang bicara dengan malaikat maut” sambungku. ”Aku hanya takut!! Aku hanya butuh dukungan mu!! Aku hanya butuh egoismu yang selalu menekan ku!! Aku hanya butuh nada tinggi emosi mu!! Karena itu semua yang menjadi bahan bakar harapan ku hingga aku mampu bertemu saat ini dan detik setelah ini”. ujarnya menutup perbincangan.

Minggu, 13 September 2009

tentang senja di sore itu

Tiba-tiba ia menelfon ku tadi. Sudah lama hal ini tidak terjadi. Bahkan aku kira hp ku sudah tidak mengenal dirinya lagi. dia mengajaku bertemu sore nanti. Apakah ini sebuah bentuk rekayasa romantisnya? Merangkai siluet indah dibalik dewa surya yang perlahan tak perkasa. Aku segera membuka lemari pakaian ku. Kemeja biru dongker lengan panjang aku pilih. Aku selalu merasa lebih rapih jika dibalut dengan kemeja katun ini. Aku menerka-nerka arah dari undangannya. Aku coba membuka setiap sekat fikiran mencari berapa banyak peluang yang bisa tercipta. Aku ingat dirinya yang sangat numerikal. Dia orang yang objektif, dan tidak suka opini. Semuanya harus jelas dan tertutur tegas. Aku ingat saat menemaninya kesebuah bazar makanan tempo itu. Dia lebih memilih kentang goreng perancis ketimbang singkong goreng keju. Alasannya simple, ia lebih tahu kandungan lemak didalam kentang goreng perancis yang serba angka. Ia tidak mau berurusan dengan tebak-tebakan atau bergelut dengan segala hal yang masih abu-abu. Jika hitam yah memang harus hitam. Tidak ada warna linglung baginya. Mungkin itu yang selalu membuat dirinya terlihat feminis. Suaranya pernah terdengar sangat manja saat memohon kepada ku untuk tidak memilih film trhiller. ia memaksa ku dengan kekuatan suaranya yang manja. Dan itu ajaib. Ini memang bertolak belakang dengan sisi feminisnya. Dia lah bentuk paradoks. Ia amat takut dengan mata pisau dan darah. Dan aku hanya mampu mengingat dengan segala hal yang pernah terjadi diantara aku dan dia. Aku pernah sangat-sangat dekat dengannya. Sebelum ia berubah dan perlahan mengambil langkah seribu dari ku. Hingga akhirnya tadi ia kembali membangunkan hp ku dan juga fikiran ini tentangnya. Aku merapihkan diri dan memastikan nya sudah wangi. Aku coba membangun kan kereta besiku dan siap membakarnya untuk melaju. Ku siapkan segala macam salam pembuka hingga tema-tema yang ia cinta. Terutama tentang bunga lili yang ia gambar kan suci dan penuh arti. Aku masuki sebuah kios kopi kecil dekat kantor pos ditengah kota. Dirinya duduk di ujung toko, ia terlihat anggun bergaun coklat bertekstur bunga. Cantik, amat cantik terkilau mentari sore ke arah timur. Aku hampiri dia. Ku jabat tangannya dengan tangan ku yang mendingin. Akhirnya aku bertemu Senja, wanita ini bernama senja. Ia tergambar indah dimuka istana Raja nan megah. Riasan wajahnya seakan pelangi kala hujan lelah berganti cerah. Senyum sapanya menarik uluran impresiku yang sempat membeku kelu. Aku rindu dengan malam nya yang juga jadi malam ku. Aku rindu kepulan aroma rokok buahnya yang mengikat dinginnya malam dengan pekat. Aku masih inginkan dirinya yang menemani ku saat esok bertemu senja. Aku buka perjamuan sore ini bersama senja dengan sambutan getir sebelum akhirnya besok ia pergi dari kota ini. Dan ini ternyata memang sebuah pamitan. Ini perpisahan. Aku baru tahu dan sekarang aku tidak tahu.

cerita tahun lalu

Mengapa ini jadi sangat penting bagi kamu. Bukan kah kita pernah bicarakan ini setahun lalu. Dan jawabannya jelas. Kamu tetap berdiri disana dan aku tetap berdiri di sini. pada saat itu kamu masih saja menjadikan hal-hal yang tidak penting menjadi sumber pemisah. Sedangkan aku sebenarnya lebih bisa terbuka dengan hal tersebut. Aku mencintai waktu ku saat menelan cheese burger dihadapan mu. Aku pun sangat menikmati lemon tea hambar sisa minuman pesanan mu. Sejujurnya aku sangat menyayangi setiap waktu ku yang ada kamunya. Kamu telah berhasil menjadi kan otak ini berisi. Dan kamu juga sudah sukses menjadikan diri ini terisi penuh muatan pesona yang selama ini tersuguh. Langkah ku selalu yakin jika dirangkai dengan langkah mu. Namun pada saat itu, kamu mungkin masih menganggapnya belum cukup. Sekarang kamu bertanya lagi tentang itu. Kamu menginginkan lagi sesi tukar otak tentang teori-teori hidup yang selalu kamu anggap dewa. Kamu rindu terhadap kepulan asap marlboro mentol saat bersama menelan malam. Lalu untuk apa ini semua datang lagi. Kamu sudah jelas-jelas menghentikan dan memastikan telah mengubur nya dalam masa lalu mu yang kamu anggap sampah. Dan hal lain berarti aku adalah sebuah nista mu dalam hidup yang teramat hina. Kamu menangis dihadapan ku. Dan aku pun sudah jauh lebih dulu menangis dari setiap posisi mu. Jika kamu sakit. Aku jauh dari itu. Jika dulu kamu menganggap kita tidak bisa bersama. Begitu pun aku sekarang.

Selasa, 28 Juli 2009

dua menit di hidupnya

Jantungku seketika berdegub amat kencang tak karuan. Dan mata ku pun tak dapat dipejamkan. Karena dia dihadapan ku sekarang. ia mencuri seluruh atensi ku yang perlahan menjelma menjadi obsesi yang berdosis tinggi. Seluruh organ dalam tubuhku seolah berkonspirasi, untuk menggoda masing-masing bergerak lebih aktif dari batas normal. ia adalah dewi yang selalu menggoda surgaloka dalam hati ku. dia yang menjadi embun ditengah sabana hijau mimpiku. Aku memang gombal jika harus berkutat dengannya. Aku harap ia tak berkeberatan dengan itu. Sintesa cinta ku pun seolah tergambar sempurna di dirinya yang harum meranum. Aku tak banyak berharap padanya. Aku hanya ingin menjadi pangkal lidah yang membuatnya mampu mengeja dan mengucap namaku meski tak sempurna. Atau aku hanya ingin menjadi saraf penyambung, yang mampu membuatnya menarik bibir dan membuang senyum pada ku. Aku tidak pantas untuk muluk, dihadapannya aku hanya sebuah pisin dalam rangkaian kopi hangat. Tapi dengan begitu aku bisa menjadi alas darurat omelete paginya, yang mampu memberikan ia protein tinggi dalam menghadapi harinya yang padat. Aku kembali mencoba berkonsentrasi pada kondisi ku saat ini. Posisinya sangat dekat dengan ku, bahkan mungkin ini yang terdekat. aku dapat melihat segala nya tentang dia dengan jelas dari posisiku. Dia terlihat manis, berkemeja putih dan memakai rok hitam selutut. Mungkin jika yang mengenakan pakaian itu teman ku amanda, akan terlihat seperti pelayan katering. Tapi ini bukan amanda, ini dirinya yang tak sanggup ku sebutkan namanya. Ia terlihat manis dengan rambut terurai panjang terawat. Aku dapat mencium aroma rambutnya yang harum serta puas melihat bibirnya yang tipis manis. Aku menerka-nerka proses kata yang terproduksi, hingga menjadi output dari bibirnya yang lincah bergerak dari jarak ku yang 8-10 meter darinya. Bagi ku ini sudah sangat dekat dan paling ideal untuk menikmati keindahannya. Aku yakin dia sedang bahagia. Wajahnya sangat cerah, dan tawanya sangat lepas. Aku seketika bahagia. Sesekali ia memalingkan perhatiannya ke sekitar. Aku berharap matanya sempat menangkap ku meski sekelebat. Tangannya coba meraih botol minum yang ada di seberangnya. Semoga air yang masuk kedalam tubuhnya dapat menghapus dahaga dari segala macam bentuk toxin yang ada di dalam tubuhnya. Aku melihat ia menggenggam handphone dan tak lama berusaha untuk menjawab panggilan yang masuk. Ia mendadak sibuk merapihkan tas dan segala bentuk perkara yang dibawanya. Tak lama ia menghampiri beberapa teman dan seolah memberikan sinyal perpisahan. Lambayan tangan pun berulang kali terlihat serta kecupan manis khas wanita pun terlaksana dipipi masing-masing. Dirinya pun terlihat ramah, dirinya terlihat indah, dan dirinya terlihat sempurna disisi teman-temannya. Entah mengapa aku mulai tak dapat merasakan hangatnya darah ku, serta aku kebal terhadap raihan tanganku. Rangkaian orkes perkusi semakin berdekup keras tak terbatas. Ternyata ia perlahan berjalan ke arah ku. Wajah nya yang putih pucat semakin dekat. ”hey belom balik?”. itu adalah kata-kata terindah yang pernah aku dengar. Kalimat itu datang amat ramah, kalimat itu dicerna amat nikmat di kepala. Dan kalimat itu datang darinya, suara itu datang tinggi namun tipis. Aku tahu aku diam dan aku tahu tugas ku saat ini adalah menjawab pertanyaan perhatian atau sekedar basa-basi darinya tersebut. Namun aku tak peduli. ”iya belom balik” suara ku terdengar sangat parau, bahkan tidak jelas. Aku tidak siapa akan ini. Aku pun bertanya dalam hati alangkah teganya ia bertanya hal seperti itu kepada ku tanapa memberi waktu untuk ku mencari jawaban yang pas, dan melatih diri ini untuk siap akan terjadi nya moment tersebut. Dia pun bertanya kembali ”kenapa???” nadanya meninggi. Aku pun menjawab segera dengan kondisi yang sedikit lebih siap ”iya belum balik sebentar lagi kali”. ”oh gitu!! Ngelamun aja. Duluan yah” ini kali kedua dalam kelompok waktu yang sama aku merasa sangat bahagia. Aku merasa dirinya sangat memperhatikan aku. Oohhh dear god. Thanks for this moment. Namun seandainya ia tahu lamunan ku tadi pun tertuju untuknya. Aku merela kan waktu ku habis terbuang jika itu tentang dia. Aku sangat ingin merangkaikan kalimat jawabanku tadi dengan kata sayang. Aku ingin mengatar pamitnya dengan rangakaian perhatian. Aku ingin mengawalnya sampai tujuan dengan kecup dikeningnya agar ia selalu mengingatnya dan berhati-hati dalam perjalanan. Meskipun itu semua jelas tidak mungkin. Apa yang telah ia beri tadi merupakan hal terbesar dalam hidup ku dihidupnya. Setidaknya aku pernah ada dalam cerita atau takdir hidupnya. Mungkin aku tak bisa melakukan banyak hal untuknya, meski sesungguhnya aku mau. Jika ada kesempatan aku ingin berkata padanya. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas seluruh senyum yang telah ia berikan ke pada ku. Karena dengan begitu aku tahu aku melintasi isi kepalanya. Aku juga ingin mengucap kan terima kasih atas 2 menit waktu dalam hidupnya yang telah menjadi milik ku. Aku senang pernah menjadi 2 menit dalam hidup nya dari hari nya yang 24 jam. Aku bangga pernah mengisi dan memiliki waktu dalam rangkaian waktu nya dalam hidup. Ini untuknya yang selalu menjadi rindu, rasa, asa dan tujuan fikiran ku.

kalian fikit kami takut???

Apa kalian fikir kami takut? Apa kalian fikir saat ini kami sedang menangis tak berdaya? Apa kalian fikir kami sudah mengaku kalah dan menganggap kalian pemenang? Maaf justru kami ingin sedikit berterima kasih kepada kalian. Apa yang kalian perbuat justru telah membuat kami lebih kuat. kalian ingin memecah belah kami? Maaf saya menjawab dengan jelas kalian gagal. Kalian hanyalah embrio gagal saat orang tua kalian berusaha menambah individu baru yang akan membuat alam raya ini busuk. Mungkin rasul akan sedih mendengar nya. Bumi pun pasti malu menyediakan tempat untuk umur kalian yang pendek. Tidak mungkin ada mahluk tuhan yang lebih tolol dari kalian. Kalian hanya lah gumpalan daging segar nan haram yang disediakan tuhan sebagai santapan anjing sekalipun.

Sabtu, 18 Juli 2009

dia yang mereka

Aku melihat air mata yang jatuh dari mata nya yang teduh itu tadi malam. Aku mendengar getir suara nya saat ia menyenandungkan nama tuhan dari bibir nya yang maroon itu semalam. Sesuatu pasti sedang terjadi, dan sesuatu pasti sedang membebani. Air mata ku pun tak kuasa ku bendung. Sisi melankolisku yang selalu terpompa jika ia objeknya. Aku tak pernah mampu menahan air mata ini jatuh, ketika aku mendengar ada sesuatu yang menggores luka di hidupnya. Pikiran ku seketika membenang kusut. Jika ini membantu, Aku rela membuang seluruh cairan dalam tubuh ku untuk bekerja keras dan membuatnya bahagia. Aku berani telanjang dan ditertawakan kalian jika itu mampu menutup malu dirinya pada orang lain. Karena aku tidak mau hadir di dunia jika hanya untuk membuat hidupnya pusing dan repot dengan segala perkara ku. Aku berusaha menyeka air mata yang sudah terlanjur membasahi pipi. Aku harus terlihat lebih kuat darinya. Saat ini aku ingin menjadi air putih yang setidaknya dapat membantunya sedikit lebih tenang dalam bernafas. Dia yang menjadi alasan ku ingin bertemu mentari esok pagi. Dan dia yang menjadi bahan bakar dari kayuhan langkah ku mengejar mimpi. Aku ingin mengelap keringatnya yang perlahan membasahi keningnya. Aku ingin membantunya mewarnai rambutnya yang mulai memutih. Aku juga ingin menjadi pelayan setianya kala hari menelan waktu yang dimilikinya. Aku ingin bersama-sama denganya memakai koko putih saat takbir di fajar fitri berkumandang. Dan aku ingin membuatnya merasa pantas untuk sombong dihadapan orang-orang meski itu tak perlu. Dia yang berarti mereka, mereka yang berarti orang tua. Mereka harus bahagia. Mama harus merasa pantas memakai kain sutra saat esok hari kita melihat pelangi. Papa yang harus merasa pantas memegang tasbih saat azan kota mekah memanggil nya untuk solat. Kalian adalah titik air mata bahagia ku, kalian adalah tiap keringat kerja keras ku. Dan kalian adalah tiap sisi dalam hidup ku. Maaf, aku hanya mampu berdiri disini saat ini. Namun aku akan berusaha melangkah lebih jauh dari langkah yang telah engkau korban kan demi hidup dan nafas ku hingga detik ini.


Air mata yang selama ini kalian keluarkan akan aku ganti dengan senyum tawa bahagia. Segala aral yang beberapa waktu belakangan menghadang, semoga menjadi ilustrasi bagi hidup kita yang diuji. Aku bangga menjadi bagian dari hidup kalian. Aku bangga melihat kekuatan kalian berdiri di tengah tsunami. Aku sayang kalian.

Sabtu, 11 Juli 2009

cerita senja

Memanjakan kegundahan hati. Merayakan kebimbangan fikiran yang mengganggu waktu. kala langit bergegas jingga. Meniti langkah di sisi sungai emas berkilau. Bersama coffee latte dalam sebuah paduan cantik dengan gelas dalam genggaman. Desiran angin pun terasa kencang menerjang sendi-sendi kulit yang perlahan menegang. Sunyi, tenang dan bukan kumpulan individu dalam apel besar. Ini beda. Kicau nuri menyambar kesunyian. Kilatan romansa sepasang kekasih dari bangku seberang. Semua cantik bergulir mengisi waktu yang berlari sia-sia. Cerita sang dewa matahari yang segera berganti tugas. Kayuhan sepeda terlihat tergesa, melintasi saya yang sedang sibuk melepaskan pandangan pada seorang bapak tua di ujung jalan. Wajahnya cerah, dan pakaiannya bersih. Siap membuka kedai kopi sederhana miliknya. Tubuh serta hati terasa hangat. Ini bukan lah sebuah bentuk penyimpangan fungsi tubuh. Namun lebih terbawa suasana di akhir tahun menjelang natal. Hamparan jingga serta magenta. Refleksi keindahan hati Raja semesta. _mathirasa

Sabtu, 04 Juli 2009

gelisah subuh

Aku jadi sangat-sangat tidak tenang malam ini. Degub jantung ku tak karuan, dan arah fiikiran ku pun seolah berbelit tak bertujuan. Ini kah balada dini hari yang menjemputku pada keadaan gelisah tak karuan? Semua hal yang terbangun seolah pucat. Semua berubah menjadi abu yang bergegas menjadi kelabu. Pagi yang masih sangat sore untuk bertemu mentari. Aku coba mendesak tubuh ku untuk setidaknya keluar dari selimut biru dan menyegarkan mataku yang sebenarnya sudah enggan untuk berkompromi. Namun keadaan fikiran dan hatiku masih belum harmonis untuk memutuskan masing-masingnya beristirahat. Ku coba menyalakan telivisi, berharap ada sesuatu yang dapat menarik perhatian dan membuat ku melupakan segala ke gelisahaan tak beralasan. Kegiatan mengganti channel tv hanya menjadi hal pembuang waktu menuju pagi. Nyaris satu minggu aku begini. Mempertemukan waktu dengan pikiran kosong serta kegelisahan hati yang perlahan menyelemuti. aku tahu ini bukan saatnya memusingkan diri dengan segala bentuk ironi diri yang perlahan mulai meninggi. Kalau boleh aku juga ingin seperti anak lain yang sudah mulai pusing dengan segala macam persiapan menuju final test di awal pekan. Tapi toh otak ku sudah lebih dulu dipusingkan dengan segala bentuk beban penghambat alur darah yang dipompa ke otak. aku malu bertemu matahari besok pagi, aku juga takut bertemu langit biru saat mentari datang menyapa hari. Kebimbangan yang seolah kembali menghampiri diri dan memaksa hati untuk menjadi iri. apa aku masih pantas bertanya pada tuhan tentang keadaan? apa aku masih berhak mendapat jawaban dari segala bentuk doa kepadanya? Aku mulai kebal dengan segala bentuk serangan cobaan yang ia beri pada hidup ini. Jika aku ingin durhaka aku akan berkata ini monoton. Namun aku yakin aku sudah terlalu jalang dimatanya sebagai hambanya yang tak pernah bersyukur. Aku harap ia tidak terlalu tersinggung dengan apa yang aku katakan. Karena ini hanya bentuk kelelahan ku pada keadaan yang membuat ku gelisah. Kata sambung

Jumat, 03 Juli 2009

saya yang salah

Aku sangat berharap aku segera kantuk. Entah apa yang menjadi alasan ku kali ini, justru mencoba mengundangnya untuk datang. Ini sudah larut, namun kedua mata ku masih sangat kuat menahan ku untuk menutupnya. Ku coba merayu teh hangat agar mau menemani, setidaknya selama 15 menit kedepan. Sebelum ia pergi berganti menjadi jenis larutan yang lain. Alasan ku tetap terjaga adalah sebuah kondisi yang disebut rindu. Yah aku memang sedang terganggu sekali dengan sebuah rasa yang bernama rindu. Aku sedang menjadi korban dari sebuah beban yang ku anggap itu nikmat. Yaitu dirinya. Aku sedang rindu dia. Dia yang belakangan menjadi tujuan pikiran ku. Dan Dia ilmira. Gadis china padang yang sudah 3 bulan ini aku kenal. Dibalik segala macam ledekan ku tentang darah keturunan yang mengalir dalam dirinya, aku menaruh atensi yang sangat besar kepadanya. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama, hampir 8 bulan. Namun memang baru kurang lebih 3 bulan ini aku sering membuka ruang komunikasi dengannya. Tiga minggu lalu menjadi palung waktu yang kuanggap sebagai sebuah puncak baru. Aku mampu merasakan dirinya hadir disebelah ku dengan kondisi yang berbeda. Baik situasi maupun hati. Entah apa yang membuat diriku dan dia menjadi sebuah restoformis yang saling mengikat. Aku merasa tangannya merangkul ku. Baik tubuh maupun fikiran. Saat aku berbicara A dia mampu menjawabnya dengan A+. Dia seketika istimewa. Dia membawa ku untuk bisa mendengar langkah-langkah kecil dari setiap titik sentimentil ku dan dia. Menerka-nerka arah dari jalan ku menuju mentari yang perlahan hilang tenggelam hari. Aku teringat saat 2 hari lalu, ia seketika mengetuk malam ku dengan telfonnya yang amat ramah menyapa ku. Tidak ada yang istimewa. Hanya dia yang istimewa. Aku pun seketika ingin mengenalkannya pada dunia yang kusebut biru. Aku ingin menggandengnya untuk melihat dunia dari sisi yang lebih tinggi. Karena aku melihatnya ada pada tangga dibawah ku. Ruang kepalanya masih sempit. Langkahnya pun masih gontai. Dia masih sangat-sangat merah jambu. Dia masih sangat berwarna di layer ku yang greyscale. Dia menjadi bahan tulisan takdir dari hidup ku beberapa hari belakangan. Dia mengisi segala bentuk forum pikiran ku saat aku sedang menelan mimpi pada nyata. Bahkan Roqib dan atit pun masih sangat hafal spelling namanya. Karena memang dia objek dosa dan pahala ku belakangan. Saat ini pukul 22.13 wib. Namun tak satu sinyal pemanggil pun yang seolah memaksa telefon genggam ku untuk bertugas sebagai mana mustinya. Hp yang biasa ku panggil si hitam itu masih terdiam bisu dan mungkin merasa terganggu oleh ku yang berkali-kali melihatnya. Untuk memastikan adakah panggilan tak terjawab atau sekedar pesan singkat dari nya. Aku sangat berharap rangakaian tulisan yang membentuk Ilmira .Z muncul pada layar hp 300 ribuan ini. Seduhan teh hangat pun telah berganti menjadi larutan lain. Yaitu air teh. Karena memang suhu yang terkandung tak lebih dari 20 derajat celcius. Aku coba memalingkan fikiran ku tentang wanita bermata sayu itu dari ku. Aku coba menghisap permen mint ekstra kuat yang ku padan kan dengan air dingin semi beku ke dalam mulut ku. Aku berharap effek dingin nya yang tidak normal dapat membeku kan jangtungku. Dan membuatnya berdegub lebih santai lagi. Namun memang hal itu tidak banyak membantu. Berulang kali hp ku menjadi tumpuan penyampai harapan ku padanya. Namun tak sedikit pun ada tanda ia akan bergetar terpanggil. Rasa gengsi ku masih mengungguli rasa penasaran dan kekhawatiran ku terhadapnya. Aku ingin makan telur ayam kampung mentah. Agar aku pun muntah-muntah dan fikiran ku teralihkan darinya dan sibuk dengan muntah ku. Aku tahu itu konyol namun segala macam ide eksperiment untuk memindahkan pikiran ini dari nya pun muncul spontan. Karena aku tak kuat menahannya dan tak berani untuk menghubunginya. Entah ini jawaban apa dari tuhan. Hand phone ku bergetar. Bergegas aku menggampainya. Dan tertulis Stira aditama. Itu nama teman ku. Aku tak sempat kecewa karena aku harus segera mengangkatnya. ”woi, dimana lo nyet?” seru teman ku semangat. Aku pun menjawab telfon nya dengan nada datar nyaris tak bersemangat. Rupanya dia mengajakku untuk minum kopi seperti ritual kami kala malam. Aku berfikir spontan mungkin itu dapat memalingkan fikiran ku dari ilmira. Namun aku merasa barusaja ada petir yang menghantamku. Aku merasa ada guntur yang menyapa ku. dan aku merasa jantungku pun mati tak berdegub. Stira berkata ilmira ada di meja sebelah nya dan sedang bersama seorang pria berperawakan bersih namun casual dengan jeans. Aku tahu ini mulai tak jelas. Aku mulai tenggelam dalam perasaan yang tak ada dasar. Aku kalut dalam perasaan yang disebut cemburu. Namun aku tak pantas untuk itu. Aku bertanya apa aku salah menerka?namun aku merasa tak pernah ada kata salah kalau hanya menerka. Aku yang ternyata bukan apa-apa baginya. Aku yang hanya menjadi bagian dari kumpulan koleksi teman di phone book nya. Dan aku yang tak pernah punya hak menaruh hati padanya. Yang jelas sekarang adalah aku sudah membuang-buang waktu untuk memikirkannya dan dia sama sekali tidak memberi waktunya untuk menyelipkan aku dalam rangkaian hidupnya. Dan aku pun menolak ajakan stira yang seketika tak menarik. Aku lebih memilih hilang dalam malam ku dengan cara ku. kata sambung

SENJA DESEMBER

Aku sempat berfikir bahwa aku dan dia adalah sepasang jiwa yang melebur, lalu siap membeku menjadi satu. Aku sempat merasa, aku telah membagi bagian otaknya menjadi 3. dan tersematkan aku disiitu. Aku sempat menikmati sekian hari indah yang dipenuhi dengan pesan singkat bertuliskan kata-kata ramah, dan tertera sebuah nama singkat namun cantik. aku Juga sempat berfikir aku adalah hidupnya dan tuhan sengaja membuatku untuk membantunya menghela nafas setiap hari. Namun semakin larut langit diatas kepala ku saat itu. Semakin cepat pula langit menyapa dewa matahari disela pagi dan semunya pun berganti. Semakin terasa jelas kini aku berdansa sendiri. Tak ada alunan musik indah yang terdengar. Hanya detak jantung yang berdegup amat kencang merusak genderang telinga. Serasa besok adalah bulan syawal. Aku duduk mencari bantuan tuhan agar mampu mengecilkan degub jantung, serta membangunkan akal sehat ku untuk kembali normal. Batas dari nalar ku yang sempat terhasut melebihi jatah, terpompa emosi dan memang sudah menguasai hati. Aku coba menyeduh cokelat hangat, berharap dopamine mampu membantuku agar bisa lebih bersahabat dengan emosi. Ku bakar rokok mentol berwarna hijau muda cantik. Mungkin saat itu hanya itu yang bisa aku puji. Yang lainnya gelap dimataku saat itu. Harum badannya masih menyumpal di hidungku dan terhisap masuk kedalam kerongkongan serta hati dalam arti asmara. Dan itu sangat mengganggu. Dia seakan menginfeksi setiap pikiran, nafas, dan kata yang baru saja selesai ku produksi. Aku masih dalam kondisi nanar. Darahku masih tersumbat namanya yang mengganjal di seluruh tubuh. Aku ingin membakar bokongnya lalu menendangnya agar dia melihat ku saat itu dan membiarkan fikirannya dilintasi oleh segala amarah yang kecewa dari ku. Entah apa yang membuatnya tega membuat asa ku terasa sia sia. Jika boleh aku berkata padanya. ”Aku rela menjadi penjawab bisu dari setiap telphone malamnya. Aku tega membiarkan diri ku mandi diguyur air hujan. Hanya untuk mengambilkan dirinya air putih dari dispenser rumah nya di lantai satu, menuju kamar nya dilantai 18. Aku berani memecut tubuhku agar tetap terbangun saat dirinya membutuhkan seseorang, untuk membuat dia tenang kala malam mengganggu nya dengan urusan ayah, kaka juga si hitam yang meraung mengganggu. Dan aku pun ikhlas membukakan sajadah untuk nya saat tahajut membangunkan nya. Juga jaket parasut ku siap sedia mengawal nya melawan dinginnya malam kelabu”. Tanggalan ku pun semakin mendekati akhir tahun . Saat itu sudah cukup lama aku hidup tanpa ada pesan singkat penyambut pagi, serta lagu-lagu kampungan yang terdengar merdu saat dia yang bersenandung. Aku sudah lebih bisa berkompromi dengan emosi dan fikiran. Aku sudah lebih bisa menilainya sebagai sesuatu yang cacat dalam hidup ku. Ku bakar bensin kala senja mendadak jingga, terguyur hujan sejak zuhur. Aku matikan penyejuk udara mobil. Ku buka sedikit jendela dan kunyalakan batang rokok terakhir ku. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa salah jalan. Aku tersesat dalam pikiran ku. Dan dia kembali. Aku merasa dia sedang melukis langit. Berusaha melirik dan menarik ku lagi menuju bola matanya yang selalu terlihat meruncing tajam. Ku ambil bahu jalan. Ku biarkan asap mengepul, melilit ku. Asal bukan segala tentang dia lagi. Aku tak kuat. Aku heran mengapa justru batang rokok ini yang mengantarkan ku padanya kembali. Ku lanjutkan perjalanan, dengan kondisi pikiran yang masih tetap salah. otak ku perlahan meredup, aku mendadak gagu. Dan aku sangat menikmatinya saat itu. Barisan besi yang tersusun mengantri ini tak pernah singgah atau mengganggu otak ku yang kembali melankolis. Aku merasa justru mereka menjadi suara latar yang membawa diri ini membangun asa kembali tentang dia. Memang sejak lama aku sadar aku adalah orang yang sangat bodoh dalam hal ini. Aku sudah sangat hafal ketololan ku jika harus bergulat dengan segala hal tentang dia. Namun aku rela menjadi idiot jika dia yang akan mengajari ku bagaimana menghafal alfabet setiap hari. Dia terbangun lagi di kepala. Dia perlahan menguat kembali di sela-sela dada. Hingga dia kembali berkuasa seiring bergetarnya handphone ku dan namanya yang langsung merayu. Terasa kembali gelora rasa rindu. Aku rindu mencicipi bibir merahnya yang merona menggoda nafsu, aku rindu menggenggam tangannya yang terasa halus namun hangat. Aku rindu getir suaranya saat ia menangis sedu. Dan aku rindu tarikan bibirnya saat ia membuang senyum pada ku. Aku tahu aku sedang salah jalan. Aku tahu akan terus tersesat jika ku ikuti jalan ini. Aku Coba mulai menarik garis pembatas ketololan ku. Aku hanya berusaha realistis, yang dalam hal ini berbeda kutub dengan optimis. Aku harus mulai sadar dimana keberadaan ku saat ini. Dia yang saat ini tak lagi menjadi objek setubuh ku. Dia yang tak lagi menjadi pemancing endorvin ku. Dan dia yang tak lagi menjadi tujuan nafas ku, dan dia juga bukan lagi menjadi bidadari yang pantas terangkai dalam asa ku. Dan dia pula yang sudah bersama individu lain yang tak pernah bisa aku mengerti alasan dari semua hal yang terjadi, dengan apa yang telah ia pilih. Saat itu waktu sangat larut, mata ku masih sangat kuat. Entah karena AC Milan yang bertanding malam ini, atau kondisi kepala serta hati yang masih tidak karuan. Sengaja kuaktifkan ruang perbincangan ku di internet, tanpa ada tujuan. Dan dia kembali hadir. Dia pun menelfon ku, suaranya tipis. Nyaris nangis. Seperti biasa aku tak bisa mendengar wanita menangis. ”kenapa kamu?” ku awali kalimat basa-basi ku saat ia menegur ku lebih dulu. Ternyata ia pun mulai sadar atas langkah yang kuambil dari nya. Aku pun semakin heran untuk apa ia menangisi sesuatu yang tak pernah ada arti untuknya. Toh yang tergila-gila dengannya adalah aku. Apa ia merasa kehilangan penggemar beratnya yang siap dihukum mati jika memang ia yang memerintah nya? Bingung ku pun seketika menyambar. ”aku ga mau jauh dari kamu” kalimat itu datang tipis antara vase hidup dan mati. Suaranya bergetar saat mengucapkannya. Jika ada sebotol valium aku lebih memilih meminumnya saat itu. Asal kan aku bisa keluar dari jebakan itu. Bibir ini mendadak kelu. Aku semakin tidak mengerti akan kondisi ini. Akan bagaimana jalan fikirannya dan juga apa yang digunakannya dalam berfikir selain otak. Aku sudah kadung kecewa dengannya. Namun aku pun telah kadung cinta hingga nyaris menjelma menjadi seorang yang obsessif terhadapnya. Jika ada pilihan untuk kabur. Aku akan kabur. Dia yang mendadak menjadi peri hitam abu dimataku. Dia yang berubah menjadi sejuntai celah cacat diimpresiku. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah tahu siapa aku. Dia tidak akan pernah mau tahu apa isi kepala ku, dan dia juga tidak akan pernah sadar kalau aku ada, dan selalu melangkah setelahnya. Hanya sekedar menikmati cintanya dari hitamnya bayangan dan menjaga setiap arahnya hingga tidak akan pernah patah. Dia tidak akan pernah bisa mengenal ku, begitu pun aku yang tidak akan pernah bisa mengenalnya. Aku lebih memilih sakit rindu, dari pada dia datang pada ku hanya untuk menangis. Dan aku lebih memilih begitu. (I’d miss you even if we’d never met)._kata sambung

Rabu, 01 Juli 2009

introduction

akan saya tuntun kalian untuk melihat pelangi. disebuah sekat antara matahari sore dengan penunggu langit malam nya bumi