Sabtu, 21 November 2009

penghalang ku yang mungkin sempurna

”Kesempurnaan mu menjadi penghalang buat ku” ucap ku padanya. ”Kesempurnaan mu seolah memberi jarak bagi ku ke kamu. aku menjadi kecil di hadapan mu yang tergambar besar. Aku lebih baik disini dan membiarkan kamu disitu”. ”Kenapa jadi begitu? Menurut ku kamu terlalu egois untuk dapat menilai ku sempurna” Ujarnya ketus. ”Tapi bagi ku kamu sempurna, dan itu yang membuat aku tetap saja berdiri disini tidak bergerak mendekat. Kamu terlalu jauh, dan aku tak punya daya khusus”, jawab ku memotong. ”Kalo menurut kamu aku sempurna, dan kamu jauh dari sempurna. Mungkin itu lah penyebabnya kamu menjadikan diriku sempurna. Kita jadi kosong sama isi. Jadi bisa saling mengisi dan sifatnya sejati. Jika aku sempurna dan kamu sempurna. Keadaannya menjadi isi sama isi, terlalu majemuk. Tidak ada yang tidak sempurna, dan menurutku itu tidak valid untuk sebuah kesempurnaan. Toh harus ada yang buruk agar terlihat baik kan? Yang kita bicarakan ini kan aku dan kamu. Jadi tidak perlu argumen plural macam, tidak harus ada hitam untuk berkata putih. Jadi dasar mu tadi di awal tidak bisa aku terima. Jika kamu masih saja sama, aku menilai kamu memang lemah. Tidak ada usaha. Dan itu menjadi kan ku bertambah super sempurna dan kamu cacat” dan ia menutup argumennya lalu pergi. Aku pun lantas bingun siapa yang sebenarnya egois? Apakah dirinya yang semakin harus terlihat sempurna atau aku yang telah menilai ia sempurna? Aku masih coba mencerna arah dari argumen terakhirnya.

Sabtu, 14 November 2009

ketidak biasaan yang terbiasa

ini tanpa kesengajaan. malam ku yang ku kira sudah tak lama lagi berganti harum pagi, harus terbangun dan kembali tegang. apa kebiasaan harus menjadi kesalahan saat terbiasa? aku tidak tenang. aku tidak enak..kembali tidak enak. takut semuanya tak sesuai biasanya. memang kesalahan, dan memang selama ini kita salah, namun kebiasaan lah yang membuatnya biasa. aku sekarang disekap. tersekap prasangka, opini-opini tak mendasar, dan pilihan permintaan maaf yang tepat. aku ingin sekarang lari, lalu tiba-tiba ada didepan mu, menyuguhkan wadah untuk menampung dosa mu, dan yang paling penting kamu mulai percakapan kita nanti dengan tak serius. dalam arti bercanda, bergurau seperti biasanya.

Jumat, 06 November 2009

perbincangan kedai kopi


“Kopi mu terlihat mewah? Warna nya cantik, seolah disepuh mocca. Buihnya pun tinggi bak sasakan wanita jetzet perlente!!!!” Tanya ku pada seorang teman. “iya, katanya ini kopi nomer satu di sini. Kopi dasarnya saja ramuan dari 7 jenis bijih kopi unggulan. Cream kentalnya dihangatkan khusus dengan suhu 34 derajat celcius agar tetap segar, hangat dan tidak pecah. Sepertinya aroma rempah pun ikut membuat kopi ini bertambah kaya, kopi ini disuguhkan istimewa menurutku”. Jawabnya deskriptif. ”Kopi mu terlihat sederhana. Hanya hitam, layaknya kopi yang tak ingin menentang kodrat”. Kata-kata itu keluar pesimis darinya. Aku pun jawab ”Iya kopi ku terkesan kesepian, hanya air, serta ampas yang mebuat dirinya merasa bernyawa. Tapi aku lebih suka ini. Seperti kata mu tadi, kopi ku ini sederhana. Aku lebih suka yang sederhana”. ”Mengapa?” Tanya nya penasaran. ”Tidak ada alasan rumit atau filosofi khusus kok!” Jawab ku. ”Hanya saja aku lebih bisa menikmati dan mengenal kopi ini seutuhnya tanpa banyak perantara, jadi langsung ke sasaran. Kopi yang ku minum jauh lebih jujur, ia menunujukan bagaimana dirinya yang sesungguhnya dan semestinya”.

Senin, 02 November 2009

dia bilang dia takut


Dia tiba-tiba memeluku kencang. Dia bilang dia takut. Entah apa yang membuat dirinya takut. Ternyata dia takut meneruskan langkahnya yang masih panjang. Dia bilang di depan gelap. Dia bilang lintasannya samar, pembatasnya tak tentu, dia takut jatuh dan mungkin takut hilang. Dia mencengkram bagian belakang kaus ku sangat kencang. Seakan takut aku pergi lalu hilang. Wajahnya bening pucat. Dia masih sangat takut. Aku biar kan dia tenang. Aku buat kan dia susu coklat hangat. Dan dia pun mau meminumnya. Aku coba mengelus belakang kepalanya. Berharap dia setidaknya bisa tenang dan merasa hangat. Ku balut badannya dengan sweather abu ku. Ini baru ku ambil dari loundre. jadi masih wangi. setidaknya ini bisa nyaman baginya. Aku duduk tepat didepannya. Aku mencoba meraih jarak terdekat, untuk memastikan dia tidak apa-apa saat ini. Aku bilas butir keringat yang tercecer di keningnya. Aku ingin dia tenang, aku ingin dia bisa merasa aman. Aku ingin dia sadar benar aku di sini. ”aku takut bertemu pagi” ujarnya perlahan seolah mengeja. Suaranya datang getir di telinga. ”Apa yang membuat mu takut??” Sahut ku cepat. ”Aku takut aku merasa hangat”. Ujar nya. ”Bukan kah hangat itu bagus???”jawab ku penasaran. ”Aku belum siap, aku belum lihat apa-apa, aku belum kenal siapa-siapa. Aku takut salah merasa hangat”. Ucapnya yang terdengar kombinasi panik, takut, serta gugup dan sangat cepat. ”Kamu tidak akan tahu apa yang terjadi besok, kecuali kamu mati sekarang”. Jawab ku sedikit ketus. ”Yang tidak terlihat belum tentu tidak ada kan?” Katanya menegaskan. ”Iya aku tahu!!! Justru itu, apa kamu sudah melihat esok pagi?” Nada suara ku meninggi. ”Apa kamu sudah tahu apa yang terjadi esok hari kala hitam berganti putih??? Kalau iya aku rasa aku salah berbincang dengan siapa malam ini. mungkin aku sedang bicara dengan malaikat maut” sambungku. ”Aku hanya takut!! Aku hanya butuh dukungan mu!! Aku hanya butuh egoismu yang selalu menekan ku!! Aku hanya butuh nada tinggi emosi mu!! Karena itu semua yang menjadi bahan bakar harapan ku hingga aku mampu bertemu saat ini dan detik setelah ini”. ujarnya menutup perbincangan.