Sabtu, 17 April 2010

waktu bersama (bersama waktu ) >1


Aku berjalan tanpa ketegasan, mata layu, serta tubuh lunglai seolah lugu tapi dungu. Semua efek kelelahan. Warna langit menghitam seakan bukan undangan untuk purnama turun temaram. Keletihan ku pada situasi kosong tak berisi. Aku butuh sesuatu untuk mengisi. Ku hentikan langkah gontai ku, dan menyenderkannya pada bangku. Pelesiran akhir yang terasa getir. aku raih punggung bangku, ku rangkulkan tangan seolah rindu. Aku pun seketika menghangat. Terasa ada yang kurang memenuhi sisi bangku yang hanya terisi kabut dalam ruang masa waktu. Ketidak normalan situasi yang memaksa hati bertanya iri. Pesona lembut yang terkesan pincang. Biasanya aku habiskan waktu dengan dirinya disini. Bangku ini terkadang menjadi sanggahan dosa serta alas ramah perbincangan. Sudah lama aku dan dia tidak berbagi waktu. Aku dengan timur dan dia dengan sebangsanya. Kita berjalan bersama, berdampingan namun tidak searah. Pesan singkat serta panggilan telpon ku seolah hanya pelengkap absensi kelas mata kuliah wajib. Begitu pun dia, aku hafal jam pesan singkat nya, dan aku mampu mengeja isinya yang 17 karakter. Seolah hp nya memiliki software pengirim pesan otomatis. Di depan ku lewat seorang wanita berlegging merah dengan coat hitam panjang selutut. Aku nyaris menghentikan kayuhan langkahnya dan siap memaksa mulutku untuk menegurnya. Aku sangka itu dirinya. Sembarang wanita saja aku fikir itu dia. Aku dalam posisi rindu dan abu menuju tidak tahu. Ini tidak lagi normatif. Ibarat kopi ini warna putih. Albino dan tidak awam. Perkara kecil macam potong kuku bisa jadi perkara keyakinan yang tak seimbang. Kecil yang tersulap menjadi hal yang sentimentil. ”Ini bukan obrolan kosong ku dengan kamu kan? Karena aku memang seolah bicara sendiri” tanya ku dalam hati. Sering kalimat jawab ku kembali dengan tanda tanya yang bertumpuk. Aku juga ingin tahu cerita tentang si pagi buta yang bertemu rutinitas mu. Toh aku masih dalam status pengikatmu. Jadi aku rasa aku masih punya hak untuk tahu. Aku masih tertarik mendengar teriakan lelah mu saat bertemu jalan buntu di ujung jalan bau yang meski tak pernah kusuka barang sebulu. Perbincangan kita selalu berhenti pada bibir keduanya yang tiba-tiba beku. Sajian makan malam yang seharusnya olahan cerita romansa, hanya menjadi pementasan seni suara persinggungan sendok dan piring masing-masing. Aku hanya mampu mendengar kunyahan mulut mu yang seolah perlahan mengunyah menu. Banyak yang ingin aku ceritakan ke kamu, namun semuanya seketika lenyap tak bersisa. Aku lebih nyaman dengan handphone ku ketimbang harus bercerita banyak pada mu. Aku kembali pada keadaan sendiri dengan bangku serta lampu taman berpendar. Aku pun merasakan relevansi nasib yang sejalan dengan segala hal dalam taman ini, berpasangan meski saling diam. Bangku dengan lampu, pepohonan dengan bunga merona. Begitu pun aku yang berpasangan namun juga diam. Mungkin anjing ras tetangga ku lebih tahu apa yang sedang aku alami ketimbang kamu. kita hanya butuh duduk bersama dan bicara. apakah kita tahu maksud dari kata bersama? Aku rasa jawaban kita akan mengarah pada poros dan ujung magnet yang sejenis. Aku ingin berbincang tentang si boss baru ku yang wajah nya mirip semut. Aku ingin cerita aku baru saja kena copet di karet. Aku juga ingin bercerita kalau tadi pagi perut ku sakit entah sebabnya. Dan aku pun ingin bercerita bahwa aku ingin punya waktu bersama. Aku ingin kita duduk disini setia. Saling merasa membutuhkan waktu dan meluangkan dengan kegiatan mendengar dan bercerita. Bukan tekanan kewajiban tapi kebutuhan. Kita bersama yang sama-sama tahu arti bersama. Kita butuh waktu berbagi kopi hitam atau cemilan malam bersama. Karena aku rasa aku butuh itu sekarang. Aku tidak perlu mengeluh jika memang itu ada. Bersama menyetubuhi waktu berdua.