Kamis, 24 Februari 2011

Berdansa Dengan Mu

Sudah lebih kurang 12 menit aku menjadi saksi. Bagaimana tanah yang tak berdosa, diguyur air hujan yang bertubi-tubi menghajarnya hingga tak mampu mengelak. Debu sirna dan sudah terlanjur basah. Langkah mu datang memecah genangan tenang yang hasilkan riak. Ku tarik nafas dalam. Ku hirup aroma mu. Aroma mu sudah cukup menjelaskanmu seutuhnya. Debarmu datang bangunkan sadar. Reflek ku tawarkan handuk kering entah milik siapa. Handuk itu terlihat berusaha keras menghangatkan mu. Wajah mu kini perlahan ditutup asap, kau bilang ini rokok mu yang ke 8 hari ini. Kemudian ku sambung dengan asap yang keluar dari mulutku.

Mataku menajam, berusaha menatap jelas wajahmu yang dicemari nikotin. Kamu terlalu manis untuk ada di depan ku saat ini. Terlalu sedap dalam hujan yang turun ribut. Kunikmati dirimu syahdu, seiring lisan yang tak henti keluar bedansa. Kau buat waktu ku menari, disela-sela iri membakar hati. Kita masih saja terjebak dalam obrolan yang sama. Tentang cita-cita yang tak tau akhir cerita. Berbaris mengisi lara, bertatapan menjuntai asa. Kita membicarakan kita yang sama-sama tidak tau arah.



Kadang aku berfikir kita ini dua orang yang sok tau. Keduanya sok tau Tuhan, sok tau takdir, sok tau hidup, dan sok tau yang lainnya. Kita yang masih berpendapat kita ya benar! Tapi kamu selalu berkata ”itu bahan bakar kita”. Kecupan mu yang turun mesra kerap membekas pada membran waktuku yang tak lagi perawan. Halamanmu yang tak pernah terbuka sama, Halaman mu yang bergelora, halaman mu yang getir, dan halaman mu yang satir. Dimana lalu arahnya? Dimana kita bisa berpegangan? Melihat titik yang sama, dan kemudian menggandengnya pada asmara. Takdir yang kini terasa memiliki rahim yang berbeda.

Setiap ambisimu ku terjemahkan dalam melodi, yang siap antarkan kita pada ritmik. Keluhmu ku produksi menjadi nada dasar lagu yang ku persiapkan. Anggap lah kita sedang berdansa. Menuju punggung aula dengan asa sama-sama ingin berdansa. Kita saling genggam, kita saling gerak, kita pun saling seirama, meski arahnya yang beda. Mengikuti lagu dengan gerak yang tidak pernah mau mengenal ragu. Saat itu inginnya aku tak berhenti berdansa. Ku biarkan kamu cengkram pinggangku, ku biarkan melodi, dan ritme menjadi latar dosa ku. Dan aku akan berdansa denganmu selamanya. Menetap dan hidup didalamnya. Tinggal dalam cita-cita. Tenggelam dalam dansa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar