Selasa, 22 November 2011

Bagai ombak kita berlari, bagai buih kita terurai mimpi

Saat itu masih gelap, namun tak lama lagi matahari datang singgahi bumi. Harusnya aku berbagi tempat dengan lelap sejak tadi. Namun sepertinya aku terlalu egois, Ini hari besar, setidaknya untuk ku. Hari pengharapan bagi orang tuaku. Aku calon sarjana. Aku akan menjadi salah satu tumpuan bangsa ini mengayuhkan masa depan ibu pertiwi. ini ujung dari salah satu hutangku pada orang tua. Hingga akhirnya aku mampu menamatkannya. Lega rasanya, meski memang tidak lah seberapa. Aku justru takut menghadapi tahap setelah ini. Saat aku dan yang lain mulai mencoba berlari. Mencari arahnya masing-masing. Menggilas jalanan, menitinya tiap inci. Matahari memanggang kita yang sedang berlari. Hanya harapan yang membuat kita berani menatap dan mencoba mendekati. Asap kota menggulung setiap bulir keringat yang terproduksi. Semua tentang kita yang sudah mulai egois dan kita yang realistis, seberapa jauh jarak kita tempuh? seberapa banyak bensin kita bakar dalam perjalanan? Semua terlebur dalam emosi kita yang jujur. Aku ingat saat kita tertawa, aku ingat saat kita terjatuh. Dan terus lah ingat itu, karena untuk itu kita saat ini berlari. Bagai ombak kita berlari, bagai buih kita terurai mimpi. Akan kah kita merasa gerah? Aku harap tidak akan pernah.