Minggu, 11 September 2011

Bukan Soal Waktu

Kabar itu datang tadi pagi, bersamaan dengan surat kabar yang tersaji dengan kopi. Aku sudah tahu kabar ini tadi malam dari Rayan. Cerita Rayan semalam pun mengingatkan ku pada kejadian tahun lalu. Saat aku kalang kabut menyiapkan kejutan ulang tahun untuk Charita. Entah apa yang membuat ku saat itu merasa sangat harus memberikan sesuatu untuknya. Aku merasa ini keharusan, karena memang Charita adalah sesuatu untuk ku dan dia pantas untuk itu. Dia wanita yang senantiasa memberikan segenap perhatiannya pada ku selagi ia mampu. Ku ajak dia pergi malam itu, tepat sehari sebelum umurnya bertambah. Disaat yang sama ku undang seluruh temannya untuk datang kerumahnya. Ketika kami pulang tepat pukul 12 malam, rumahnya sudah penuh dengan teman – temannya yang memberikan ucapan selamat. Ia pun menangis, memukul bahu ku, dan lekas memeluk ku amat erat, sambil terisak ia berkata ia benci aku sepenuh jiwanya, namun ia pun mencintaiku melebihi apa yang mampu ia miliki di dunia. Charita adalah wanita yang merelakan setiap jam pulsa handphonenya berkurang, untuk mengingatkan ku makan ketika sedang sibuk bekerja. Aku memang memiliki masalah percernaan yang cukup kronis. Berulang kali aku harus keluar masuk rumah sakit hanya karena pola makan ku yang tidak karuan. Disaat itu pula Charita ada disampingku, merawatku, dan merelakan dirinya aku marahi berkali – kali, aku yakin dia tahu aku tak bermaksud begitu. Satu hari ia sangat bersemangat mengantarkan ku ke pusat perbelanjaan di daerah senayan. “kamu harus tampil bagus, setidaknya untuk diri kamu sendiri” kalimat itu datang darinya saat memilihkan baju untuk ku menjelang hari kemerdekaan RI, aku diundang ke istana sebagai jurnalis untuk acara yang aku lupa namanya. Profesinya sebagai wartawan mode menuntutnya harus memiliki selera yang baik dalam berpakaian, maka itu aku sangat beruntung memiliki dia terutama disaat moment seperti ini. Seletelah selesai memilih pakaian, kami memutuskan untuk mengisi perut kami yang sejak tadi sudah tidak tenang. Seolah trikora kembali bergelora di siang itu. Kami selalu punya bahan perbincangan, tidak pernah ada batasan. Semua kita sajikan nikmat dalam waktu 7 tahun belakangan. Memang bukan waktu yang singkat kita bersama, banyak cerita bergulir seirama. Tepat satu hari setelah acara undangan di istana, aku ingin sekali mengajak Charita bertemu. Aku punya sesuatu yang akan membuat dirinya tersenyum lebar, aku ingin melihat dia senang. Aku jemput dia waktu itu dikantornya. Malam sudah agak larut. Profesi kami yang sama – sama harus bekerja dibawah tekanan waktu, memaklumkan kami untuk sering bertemu ketika malam sudah jauh berlari. Sering aku merasa, aku adalah salah satu laki – laki paling beruntung di dunia karena memiliki Charita. Dia bisa membuat ku melihat diriku sendiri, dia bisa membuat ku bercermin tentang siapa aku. Dia mampu menerjemahkan istimewa dengan sederhana. Sifatku yang cuek dan pendiam, diterimanya apa adanya. Awal kami berpacaran adalah masa yang sulit untuk ku dapat akrab dengan teman – teman dan lingkuangannya. Sifat kami yang berbeda pun ternyata ikut serta mempengaruhi pola pergaulan kami. Aku sempat kikuk saat pertama kali bertemu dengan teman – temannya. Aku yang pendiam dan selalu merasa kurang nyaman ketika harus bertemu dengan orang baru, hanya bisa diam ditengah bisingnya suara tawa mereka. Terlihat Charita mencoba mengambil peranku, dia berusha bercerita banyak tentangku, dan berusaha untuk memancing teman – temannya bertanya pada ku. Saat itu pula Ia berhasil mengeluarkanku dari penjara semi tersebut. Pernah suatu sore aku duduk di halaman belakang rumah orang tua ku. Bermain dengan Roro, sin tzu kesayang ibu ku. Ibu ku datang menghampiri, sambil membawa sepiring roti goreng buatannya. Ini moment yang sangat jarang aku dapatkan belakangan, terutama sejak aku pindah ke kantor yang baru. Hal yang pertama ibu ku tanyakan adalah Charita. Aku sempat cemburu, sebagai anak harusnya aku lah yang lebih pantas mendapatkan perhatian ibuku. Namun saat itu aku ikhlaskan, karena memang hubungan mereka sangat dekat. Charita lebih sering berkomunikasi dengan ibuku. Menanyakan kabar, meminta resep masakan, hingga mengeluhkan sikap dan sifat ku. Terutama setelah malam itu, satu hari setelah acara di istana. Malam itu aku memberikan ia kalung dan sebuah vinyl artis favoritnya, Feist. Ia sangat senang, dan emosi hingga menangis. “baru kali ini aku bener – bener terkejut, Atar! kalo memang ini maksudnya kejutan” ujarnya malam itu kepada ku. Aku memang paling tidak bisa memberikan kejutan, selalu ia sudah lebih dulu tahu dan kemudian pura – pura belum tahu. Sejak saat itu, sikapnya kepada ku dan keluarga kian hangat. Mungkin ia mulai merasa aman dengan posisinya. Hingga tadi malam, aku rasa dia benar – benar sudah merasa aman, dan mungkin juga nyaman, meski bukan dengan aku. Aku yakin Rayan bisa menjaganya, aku yakin Rayan mampu menjadikan Charita bagian dari cita – citanya. Aku yakin Rayan sudah siap dan yakin akan apa yang dihadapinya. Itu yang aku tidak bisa. Tujuh tahun memang tidak sebentar, tapi ketika aku bersanding diatas altar untuk berjanji dan meminta restu Tuhan bukan lah urusan seberapa lama aku menjalin hubungan dengan pasanganku. Bukan juga seberapa dekat aku dengan pasangan ku, dan bukan juga seberapa sempurna pasangan ku. Aku kenal Raniela 4 bulan lalu, dan 2 bulan lalu aku telah melamarnya. Dia bukan tipe wanita seperti Charita, yang dengan mudah memperlihatkan perhatiannya kepada ku dan keluarga. Dia sedikit cuek, mirip dengan ku. Tapi ia baik, dan sayang dengan orang tuaku. Dia mampu meyakinkan aku bahwa dialah tujuanku, itu yang Charita tidak mampu. Ini bukan perkara waktu, tapi bagaimana aku siap, yakin, dengan apa yang aku tuju. Aku senang Charita.