Jumat, 17 Juni 2011

Raka Kara

Raka : Kamu percaya tuhan itu adil?

Kara : Karena aku percaya tuhan, aku harus percaya segala sifat ketuhanan. Emang kenapa?

Raka : Kalo tuhan memang adil, kenapa harus ada dua sisi yang berlawanan, kenapa harus ada pembeda dari kesamaan?

Kara : Kalo tuhan membuat kita linear tidak akan pernah ada sejarah manusia dalam kehidupan.
Raka : Maksudnya?

Kara : Iya jika memang kita linear mungkin ktia bukan lah manusia, kita hanya organ ciptaan tuhan dengan karyanya yang robotik. Tidak ada penggila seks dan penggemar proses reproduksi, karena tuhan menciptakan hambanya dengan sistem produksi masa pabrik.

Kara : Aku mulai tau arah bicara mu. Hmm tidak ada pria dan wanita. Yah memang itu yang mudah. Tapi mengapa harus selalu harus dilihat dari sudut yang berbeda untuk mengatakan tuhan itu adil? Mengapa kita tidak bisa menemukannya eksplisit?

Kara : Mungkin itu yang sering orang sebut dengan tuhan selalu punya rencana. Rencananya apa kita tidak pernah tahu. Dan untuk tahu kita harus mencarinya, mencari berarti bergerak, berubah dan bergeser, begitupun sudut pandang kita. Coba liat deh apa negara komunis yang mengusung sama rata sama rasa itu semua penduduknya miskin semua ? atau kaya semua? Tetap tidak kan? Karena memang keadilan absolut sesuai dengan harafiah itu tidak pernah ada, semua tergantung dari sudut pandang.

Raka : Kalau begitu aku bisa polygami dong? Toh syaratnya Cuma satu asal bisa adil? Keadilan tuhan saja hanya bisa dilihat dari sudut pandang yang tepat. Begitu juga mungkin aku.

Kara : Arah mu selalu ke situ.

siapkah kita mengalah?

Apa yang harus kita tunggu? Apa kita harus menunggu hujan ini berhenti, dan perlahan membasahi kita hingga kita merasa malu sama malu? Harus kah kita menunggu hingga matahari pun lelah memanaskan bumi? Tolong beri tahu aku! Beri tahu aku sampai kapan harus menunggu. Menunggu hingga kita bisa terbuka. Saling melepaskan apa yang ada dan melihat tubuh kita masing-masing dengan telanjang. Tak ada yang ditutupi, hingga tak sehelai benang pun menghalangi. Kemunafikan kita seolah kostum permanen yang tak bisa dilepaskan. Kapan kita bisa saling mengalah? Kapan kita bisa saling sadar kalau kita perlu untuk kalah? Berbohong tidak akan pernah membuat kita menang. Aku perlu tahu apa yang ada di dalam kepala mu, begitu pun kamu. Sudah siapkah kita mengalah?